Masih menarik dan seksikah ngompol (ngomongin politik) saat ini? Taruhlah masih. Menarik dan seksi. Terutama soal yang dekat dan sedang hangat, terkait tentang pemerintah minta dikritik dan wacana revisi UU ITE.
UU ITE itu tahun 2008. UU itu lahir pada era pemerintahan SBY. Dan jangan lupa, UU itu juga pernah direvisi tahun 2016 pada era pemerintahan Jokowi. Nah, sekarang, masih era pemerintahan Jokowi, kembali muncul wacana revisi UU ITE ini.
Dulu pada tahun 2016 itu, apanya yang direvisi, silakan buka-buka gugel. Yang jelas, realitasnya, pasal karet (pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2) Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) itu tetap masih ada. Hanya yang direvisi adalah sanksinya saja, soal berapa lama pidana penjara dan dendanya yang harus dibayar bagi yang melanggar. Itu saja.
Bagi yang melanggar pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)—pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 (revisi UU ITE).
Sedangkan bagi yang melanggar pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)—pasal 45A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 (revisi UU ITE).
Lantas, sekarang apa lagi yang mau direvisi? Apakah pasal-pasal karet itu mau dihilangkan atau dicabut? Atau hanya revisi redaksinya saja?
Ini sekadar contoh saja. Berkaca pada revisi peraturan tentang tarif jalan tol Jakarta - Cikampek (Japek). Tentu saja jumlah tarif pembayaran jalan tol diubah dari tarif lama ke tarif baru, dan hampir sering tarif yang baru lebih tinggi angka rupiahnya dari tarif lama.
Berarti ada kenaikan tarif tol? Bukan, walaupun realitasnya tarif tol naik. Tapi dalam peraturannya tertulis adalah tarif integrasi (kalau dulu dibilang tarif penyesuaian, walaupun sekarang sudah tidak disebut istilah itu), dan tidak disebut sebagai kenaikan tarif tol. Sebut saja, integrasi tarif tol. Selesai. Pengguna jalan tol, dongkol atau tidak? Harus disurvei dong.
Utak-atik kata dan bahasa dalam peraturan. Jadi ingat, zaman orde baru dulu yang pandai mengutak-atik kata, istilah, atau nama dalam membuat peraturan. Kata, istilah, dan nama apa saja yang muncul di ruang publik, ada peraturannya.
Termasuk, saya ingat, yang paling mencolok, pernah ada aturan bahwa nama orang-orang keturunan Tionghoa harus diindonesiakan. Anda pasti hafal, tidak sedikit orang dan tokoh hebat Tionghoa yang lahir dan besar di sini, terpaksa harus mengganti nama Tionghoanya ke nama Indonesia.
Menurut saya, enggak jelas tolok ukurnya itu, nama orang harus berbahasa Indonesia atau keindonesiaan. Nama "Ahmad" misalnya, apa itu keindonesiaan, yang ada juga kearab-araban. Itu asli bahasa Arab.