Lihat ke Halaman Asli

Muis Sunarya

TERVERIFIKASI

Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

Mengulik Politik, Mengkritik atau Menghardik?

Diperbarui: 9 Februari 2021   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi/KOMPAS.COM

Ini sederhananya. Politik itu tentang siapa versus siapa. Tentang siapa memengaruhi siapa. Bicara siapa menguasai, melawan, memenangkan, dan mengalahkan siapa.

Politik itu sejatinya bukan tujuan, tapi ia adalah jalan dan kendaraan. Pengertian jalan dan kendaraan, secara sederhana, adalah sesuatu yang dilalui oleh pelaku politik, dan membawanya untuk mencapai satu titik tujuan. 

Makanya, politik itu berkelindan dengan kepentingan. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada dalam politik adalah kepentingan. Itulah praktik politik. Politik praktis. 

Kita (manusia) memang hakikatnya makhluk yang berpolitik (zoon politicon, filsuf Aristoteles). Politik bicara kekuasaan dan kepemimpinan. Kebijakan dan wewenang (otoritas). Role playing dan playing role (Max Weber, sosiolog).

Konsekuensinya, politik itu penuh intrik. Segala cara dilakukan demi mencapai tujuan. Demi sebuah kepentingan. Semua sah dalam politik. Walaupun tidak ada yang pasti. Politik selalu bicara tentang kemungkinan.

Politik juga adalah seni. Seni bermain. Rasio, rasa, dan naluri menyertainya. Bagaimana berpolitik yang indah dan elegan. Menarik simpati, dan berusaha tidak ada seorang pun yang tersakiti. 

Karena, politik itu seni dalam berdemokrasi, maka kalah dan menang adalah hal biasa dalam politik. Kalah tak perlu ditangisi. Menang pun tidak harus bersorak sorai. Tetap rendah hati dan tanpa harus merendahkan. Menang Tanpo Ngasorake (filsafat Jawa).

Cuma politik itu memang sarat vested interest dan banyak kepentingan. Jadilah, politik uang, politik identitas (politisasi agama atau politisasi SARA), dan membutuhkan banyak pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer), berbayar pula. 

Makanya, politik itu bertaut dengan soal hidup mati. Soal keberhasilan menduduki kursi, dan sekaligus meraup penghasilan. Memperkaya diri sendiri. Demi kepentingan dan balas jasa pada partai, handai tolan, dan koleganya yang membayar dan membiayai ongkos politik di balik kontestasi politik.

Berpolitik kadang pada akhirnya, tidak lebih, adalah sekadar mencari mata pencaharian dan pekerjaan bagi "pengangguran" elit politik. Memenuhi kebutuhan hidup. Memuaskan nafsu keserakahan. 

"Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Inikah yang namanya keabadian?" teriak WS. Rendra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline