Saya pernah bilang dalam tulsan saya sebelumnya, bahwa dalam kasus-kasus tertentu, ibu (perempuan) kadang lebih kuat, lebih rasional, dan lebih maskulin ketimbang ayah (laki-laki), dan sebaliknya.
Coba saja Anda sesekali jalan-jalan di sepertiga malam menjelang subuh ke pasar-pasar tradisional (kalau di Jakarta ke pasar induk Kramatjati), pelelangan ikan (Muara Angke), pasar kue atau makanan (di Pasar Senen yang hanya beroperasi tengah malam sampai sekitar pukul 06.00 pagi), atau tempat-tempat lain yang serupa.
Anda akan menyaksikan di tengah lalu-lalang kaki laki-laki, ada begitu banyak ibu atau perempuan. Mereka ada yang sudah senior atau ada juga yang masih paruh baya, tampak energik, kuat, cergas, dan penuh semangat, bela-belain menahan kantuk dan terpaan dinginnya malam yang menusuk.
Mereka bergerak hilir mudik sambil mengangkat (menggendong) karung, keranjang, peti, atau boks berisi buah-buahan dan sayur-mayur (pasar induk Karanatjati), berbagai macam kue dan makanan (pasar Senen), atau beragam jenis ikan (pelelangan ikan Muara Angke), mengais rezeki demi menghidupi keluarganya di pagi-pagi buta ketika sebagian orang lelap dalam tidurnya.
Baca juga: Belajar Akhlak dari Dua Kambing Betina
Mereka adalah perempuan-perempuan kuat, pejuang hidup yang tidak terlihat lelah, dan tak kalah gesitnya dengan laki-laki. Artinya, Anda sebagai laki-laki, buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap bahwa perempuan itu makhluk yang lemah dan takberdaya.
Janda Beranak, Orang Tua Tunggal, dan Wanita Karier
Ilustrasi Salah satu adegan dalam film Wonderful Life (2016), tampak Amalia (Atiqah Hasiholan) dan anaknya, Aqil (Sinyo) di sebuah rumah makan. Pada plot adegan di rumah makan ini, penonton dibawa pada suasana keseruan, dan kelucuan, tapi paradoks, ironis, dan kurang edukatif. Meskipun alasannya kepepet dan terpaksa, kabur tidak membayar, terlepas di ujung film ini, ada adegan membayar dengan mengirim amplop berisi uang berikut foto si ibu dan anaknya/femina.co.id
Terlepas secara kasuistik, kepepet karena keadaan, atau mungkin karena tuntutan, adalah kenyataan, bahwa seorang ibu, wanita karier, orang tua tunggal, janda beranak, baik itu ditinggal cerai, ataupun suaminya meninggal, tetapi terbukti ia mampu melewati sendirian segala rintangan dan beban hidupnya.Ia survive, mampu membesarkan, menyekolahkan, mendidik, dan mengantarkan anak-anaknya untuk hidup nyaman bersamanya, percaya diri, bisa sukses, dan membanggakan.
Dan, catat, ia melakukan dan menjalani semuanya itu sendiri, tanpa campur tangan suami (laki-laki) di sampingnya sebagai pendanping.
Saat saya melihat kenyataan itu, sering terlintas, berkelebat dalam pikiran saya, dan ini bisa saja subyektif juga klise, bahwa seorang ibu atau perempuan itu, dalam suatu kondisi tertentu, rasa-rasanya, benar-benar tidak membutuhkan laki-laki sebagai suami atau pendampingnya.