Lihat ke Halaman Asli

Muis Sunarya

TERVERIFIKASI

Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

Suksesi Setengah Hati

Diperbarui: 2 Oktober 2020   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menghadiri rapat di KPU Pusat membahas pelaksanaan pilkada serentak 2020 (KOMPAS.COM/ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

Dulu di zaman orde baru, bicara suksesi adalah tabu dan pamali. Orangnya langsung dituduh melakukan subversi.

Suskesi ala pilkada tetap jadi. Berebut tahta sudah menjadi hobi. Tak peduli pandemi. Suara publik minta ditunda pun tidak didengar sama sekali. 

Tenang saja, protokol kesehatan adalah prioritas untuk dipatuhi. Disiplin warga untuk mentaati protokol kesehatan tetap menjadi fokus yang harus dibenahi. Calon kepala daerah peserta pilkada yang melanggar ini, opsinya adalah harus siap didiskualifikasi. Apakah itu janji atau hanya basa-basi?

"Kita buktikan takada klaster baru pandemi dari kontestasi pilkada ini." tegas Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian wanti-wanti, atau sekadar menghibur diri. Ironi. Benar-benar memaksakan diri dan takada sense of crisis sama sekali.

Ini alam demokrasi. Atas nama rakyat, mereka membela dan berdiri. Walaupun tidak jelas rakyat mana yang mereka bela dan beli. Padahal selama ini, rakyat sekadar dikadali dan diakali. 

Begitu mendapat kursi, dengan cengengesan dan tengil, mereka seakan-akan amnesia, lalu lali dan lupa diri. Janji tinggallah janji. Mereka sering memungkiri. Mestinya bukti bukan sekadar janji. Itu yang kerap terjadi. Menguap begitu saja secara alami. Tak terpuji dan keji.

Mereka tahu tidak sedikit kepala daerah yang sudah jadi. Berhasil merebut kursi. Ayat atau isyarat memperkaya diri sendiri. Lantas mendekam di balik jeruji. Dibui karena korupsi. 

Tapi itu dicap salah sendiri tidak berhati-hati. Lagi tidak hoki. Makanya, mesti pandai-pandai adaptasi dan bawa diri. Mencari alibi. Jalani lobi-lobi dan bagi-bagi upeti. Suap sana, suap sini. Supaya selamat dari kejaran polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Begitu aturan main yang harus diikuti. Kalau tidak, bisa-bisa mati berdiri.

Sejenak bertamasya ke masa lalu sejarah negeri ini. Dulu di zaman orde baru, bicara suksesi adalah tabu dan pamali. Orangnya langsung dituduh melakukan subversi. MakarMendirikan negara dalam negara itu sendiri. Pasti, ditangkap aparat keamanan dan diinterogasi.

Berujung petaka dan diisolasi dari sanak saudara atau famili. Ngeri. Karena tak sedikit orang diculik dan tak segan-segan ditembak mati. Banyak orang hilang begitu saja, yang sampai sekarang takada informasi, misteri, dan tak pernah kembali. Seperti Widji Thukul, aktivis itu dan piawai menulis puisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline