Banyak jalan menuju Roma (bukan Bang Haji). Banyak jalan pula laku media menjual berita supaya laku.
Ini soal cara atau trik media menyajikan berita untuk layak santap, dan banyak yang suka.
Salah satu trik media untuk itu adalah melakukan framing. Dalam dunia jurnalistik atau pers, framing adalah sesuatu yang halal. Biasa dilakukan.
Framing bukan jalan sesat. Hanya seakan-akan jalan sesat dan cara yang nggak benar. Karena publik (pembaca) seakan-akan dibawa kepada kepalsuan, kebohongan, atau hoaks. Hakikatnya, tidak.
Framing satu cara media atau pers membingkai berita, dan menyajikan informasi dengan upaya menonjolkan dan menampilkan subtansi dan esensinya agar lebih menarik. Boleh, karena framing itu tidak menyajikan berita bohong.
Ibarat seorang koki atau seorang chef, tugasnya adalah bagaimana meramu dan menyajikan masakan agar enak, menarik, dan nikmat disantap. Dan yang lebih penting, adalah disukai banyak orang. Kalau bisa sebanyak-banyak. Itu cara media.
Isu yang cenderung kontroversial dan polemik, mengiris-iris emosi publik adalah bahan dan sumber yang sengaja dicari dan dikejar untuk nanti pada gilirannya diramu, digoreng-goreng, dan disajikan ke publik, penikmat sajian informasi.
Bahkan, semakin banyak yang suka, tinggi ratingnya, dan viewer-nya bererot atau membeludak, itu berarti menunjukkan keberhasilan media dalam menyajikan berita. Itulah pentingnya framing. Itulah yang dilakukan media.
Intinya, framing itu nggak "berbohong". Publik saja yang demen makan mentah-mentah suapan media, tanpa mau mengolahnya.
Framing, sekali lagi, itu tidak "berbohong". Framing itu cuma: menyeleksi informasi, menonjolkan aspek tertentu, memilih kata, diksi, bunyi, gambar, foto, dan biasanya menyembunyikan, dan menyelipkan (meniadakan) informasi utuh dalam konten.
Secara umum tujuan framing ini ada dua, untuk memenuhi kepentingan politis tertentu, atau untuk menambah jumlah viewers atau pembaca. Atau malah kedua-duanya.