Pontianak, 1 Februari 2025. Dalam dinamika kehidupan sosial dan kepemimpinan Islam, ada satu kaidah yang sering dikutip namun masih jarang dipahami maknanya secara mendalam:
"Man izdda maudhi'an wa lam yazdad karaman, lam yazdad shuhbatan illa bu'dan."
(Barang siapa yang bertambah tempat kedudukannya tetapi tidak bertambah kemuliaannya, maka tidak akan bertambah pergaulannya kecuali semakin jauh dari orang-orang.)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Raudhatul Uqala".)
Kaidah ini menegaskan bahwa posisi, jabatan, atau status sosial seseorang bukanlah sekadar privilege yang memberikan keuntungan personal, melainkan amanah yang harus diiringi dengan peningkatan kualitas akhlak, dan kontribusi sosial. Jika seseorang naik jabatan tetapi tidak bertambah kemuliaannya dalam arti kebijaksanaan, kedermawanan, dan manfaatnya bagi orang lain, maka justru posisinya hanya akan membuatnya semakin terasing dari masyarakat.
Teologi Sosial: Islam dan Keseimbangan Sosial
Teologi sosial dalam Islam menekankan bahwa manusia memiliki peran sebagai khalifah di muka bumi, yang berarti setiap individu, terutama pemimpin, bertanggung jawab untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, serta antara hak pribadi dan kepentingan sosial. Kepemimpinan bukan sekadar tentang otoritas, tetapi tentang mengemban tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Islam tidak memisahkan antara spiritualitas dan realitas sosial. Pemimpin dalam Islam tidak hanya harus memiliki kecakapan dalam administrasi, tetapi juga memahami bahwa setiap kebijakan yang diambil akan berdampak pada kehidupan banyak orang. Rasulullah Shalaullahu alaihi wasallamah menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, sebagaimana sabdanya:
"Sayyidul qaumi khadimuhum"
(Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka)