Al-Qur'an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat al-Qur'an, sebagaimana setiap redaksi yang dibaca, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Pada saat Al-Qur'an diturunkan, Rasul Muhammad Saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelas), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur'an. Ketika pada masa Rasul Saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya Nabi Saw, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti sahabat 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur'an kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam memahami terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Dalam abad pertama Islam misalnya, para ulamanya sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Bahkan, sebagian di antara para ulama, apbila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu.
Dalam al-Qur'an, kita sebenarnya sudah diperintahkan untuk memikirkan isi al-Qur'an sesuai dengan akal pikiran. Akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalaman yang dialami selama hidup seseorang. Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita juga dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan Bahasa. Sehingga tidak sampai terjerumus terhadap unsur penistaan Agama, akibat dari salah mengartikan didalam memaknai teks ayat al-Qur'an.
Inilah pentingnya ilmu tafsir dalam memahami ayat al-Qur'an maka setiap muslim harus memiliki keinginan yang kuat untuk membaca dan memahami al-Qur'an dalam bahasa aslinya. Akan tetapi tidak setiap semua orang khususnya muslim mampu mempelajari dan mengkaji bahasa Arab, maka penerjemahan terhadap al-Qur'an merupakan suatu keharusan untuk mengetahui arti kata Bahasa al-Qur'an. Penafsiran terhadap al-Qur'an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para Ulama untuk memahami dan menggali dan memahami makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah kemudian bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula. dari situlah maka akan muncul beberapa faidah dalam mempelajari ilmu tafsir yakni agar terpelihara dari salah memahami al-Qur'an, sehingga dengan ilmu tafsir tersebut dapat memahami ayat secara benar. Sedangkan maksud yang diharapkan dari mempelajarinya ialah mengetahui petunjuk-petunjuk al-Qur'an, Hukum-hukum dengan cara yang tepat benar, sesuai dengan kaidah yang berlaku. Oleh karena itu, Al-Zamakhsyari, dalam mukadimah Tafsir al-Kasysyaf berpendapat, mempelajari tafsir al-Qur'an merupakan "fardhu 'ayn", wajib bagi setiap muslim.
Ilmu Tafsir juga termasuk disiplin ilmu Islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, yakni membahas firman-firman Allah SWT. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir secara tidak langsung telah membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur'an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya. Ibn 'Abbas, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh Ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Dalam menafsirkan al-Qur'an, seseorang harus memiliki berbagai macam ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur'an itu sendiri. Ilmu-Ilmu tersebut sebagaimana menurut As-Suyuthi, dalam karyanya al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an diantaranya yaitu:
1. Ilmu Lughah. Ilmu lughah bermanfaat untuk mengetahui syarah mufradat-mufradat lafazh dan madlul-madlulnya menurut bentuknya. Dalam hal ini Mujahid mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menafsirkan al-Qur'an, jika tidak mengetahui seluruh aspek bahasa Arab.
2. Ilmu Nahwu. Ilmu nahwu bermanfaat untuk mengetahui tarkib dan i'rob kata-kata tunggal
3. Ilmu Sharaf/Tashrif. Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui bina mabni dan shighat-shighat kata-kata tunggal.