Lihat ke Halaman Asli

Muhtolib

Dosen di STAI Nurul Iman Parung Bogor

Menelisik Makna Suro dalam Tradisi Jawa dengan Tradisi Islam

Diperbarui: 25 Juli 2023   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://indonesiakaya.com/

Istilah kata  Suro sudah lama dikenal di Indonesia terutama masyarakat Jawa.  Kata Suro sendiri berasal dari bahasa Arab (‘asyura) yang berarti kesepuluh yakni hari ke-10. Istilah Suro itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan jawa. Sementara itu dalam kalender Islam, istilah suro sebagaimana yang telah dipahami oleh mayoritas masyarakat Islam di Indonesia, adalah bulan Muharam. Sementara pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran. Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura adalah hari raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita. Dalam tradisi Sunni Sebelum Islam, Hari 'Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa.

 Sedangkan sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro (‘asyura) memang malam istimewa. Tradisi malam satu Suro konon dimulai pada zaman Sultan Agung. Pada saat itu, masyarakat pada umumnya masih mengikuti sistem penanggalan tahun Saka (Klender warisan dari tradisi Hindu). Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, kemudian berinisiatif  memadukan antara kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Penyatuan kalender tersebut konon dimulai sejak hari Jum’at Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi. Pada masa itu, peringatan malam tahun baru yakni malam 1 Suro, Sultang Agung mulai mengakar pada kebudayaan Jawa, yang mana tidak boleh berbuat sembarangan dan bersikap prihatin. Dari tradisi tersebut, kemudian masyarakat menganggap bahwa ketika 1 Suro, yang dimulai pada hari Jumat legi itu  menjadi malam keramat (mistik). Bahkan dianggap sial jika ada sesorang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, haul, dan ziarah kepada para leluhur. Oleh karena itu, sampai sekarang masih terdapat pantangan pada malam 1 suro, bagi sebagian masyarakat Jawa untuk keluar rumah yang tidak ada manfaatnya, tidak boleh berbicara atau berisik pada malam tersebut, tidak boleh mengadakan acara pernikahan pada bulan suro, tidak boleh melakukan pindah rumah, dan masih banyak yang lainnya.

Tradisi memperingati malam 1 Suro sampai saat ini, setiap tahunnya selalu diadakan oleh masyarakat Jawa. 1 suro biasanya diperingati pada malam hari setelah waktu maghrib. Sebab, pergantian hari pada kalender Jawa terhitung dimulai pada saat matahari terbenam, bukan pada tengah malam. Beragam tradisi seringkali digelar untuk menyambut bulan Suro seperti jamas pusoko, ruwatan, hingga tapa brata. Dalam tradisi keraton misalnya, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda pusaka. seperti yang dilakukan di Keraton Surakarta. Peringatan  1 Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana. Kemudian melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan ada juga mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton.

Berbeda halnya dari Keraton Solo, di Yogyakarta perayaan malam 1 Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam 1 Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan do’a dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya (malapetaka). Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Disisi lain Ada juga dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut 1 Suro, yakni melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, biasanya menyaksikan kesenian wayang samapai pagi, dan acara kesenian lainnya. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling lan wasp0do. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat kepada Tuhan. Sementara waspodo berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Lalu bagaiamana sebenarnya makna muharam dalam tradisi Islam? Secara etimologis Muharam berarti bulan yang diutamakan dan dimuliakan. Makna bahasa ini memang tidak terlepas dari makna simbolik yang melekat pada bulan itu, karena Muharam sarat dengan berbagai peristiwa sejarah baik kenabian maupun kerasulan. Muharam dengan demikian merupakan momentum sejarah yang sarat makna. Bagi sebagian masyarakat Islam di Indonesia, bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun Hijriyah, Muharam menjadi momen muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharam menjadi penentu untuk tahun berikutnya. Oleh karena itu, Muharam dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. bulan Muharam, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharam mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan, ibadah maupun sedekah pada bulan ini.

Secara historis Muharam adalah bulan yang telah lama dikenal sejak pra Islam. Kemudian di zaman Nabi Muhammad SAW, hingga Umar Ibnu Khattab di resmikan sebagai penanggalan tetap Islam yakni dalam Kalender Hijriah. Umat muslim mengenal kalender Hijriyah atau sering juga disebut kalender Islam. Ternyata kalender Islam dan Tahun Baru Islam tercatat pada salah satu ayat Al-Qur'an dan beberapa kali disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Awal tahun dalam kalender Islam dimulai dengan bulan Muharam. Bulan Muharam, menjadi satu dari empat bulan dalam kalender Islam yang memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan bulan Muharam sebagai momen Tahun Baru Islam ini disebutkan dalam firman Allah SWT, QS. at-Taubah/9:36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah itu ada dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa." (At-Taubah/9: 36)

Dalam ayat tersebut di atas, menurut para mufasir 4 bulan yang disebutkan merupakan bulan-bulan yang dimuliakan. Oleh sebab itu, dijelaskan bahwa Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab merupakan bulan yang dipenuhi dengan kemuliaan oleh Allah SWT. Umat Islam pun dilarang melakukan perang pada 4 bulan tersebut. Begitu juga dalam hadist keistimewaan muharam telah dijelaskan dalam sebuah Riwayat, yakni diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan puasa di bulan Muharam yakni berada satu tingkat di bawah puasa Ramadhan. "Seseorang datang menemui Rasulullah SAW, ia bertanya, 'Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal?' Nabi menjawab, 'Puasa di Bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram," (HR Ibnu Majah).

 Selengkapnya dalam kalender Islam, urutan 12 bulan dalam kalender Hijriyah sebagai sistem penanggalan Islam, yang mungkin semakin banyak dilupakan oleh generasi anak muda, nama-nama bulan tersebut  yakni: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline