Lihat ke Halaman Asli

Menakar Kebijakan Penghapusan Tiket Murah Pesawat. Reaktif atau Solutif?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Publik, termasuk saya di dalamnya, terhenyak (terkejut), dengan fakta-fakta yang sungguh miris mengiris kenyataan dunia penerbangan di Indonesia. Berbagai informasi baru yang mencengangkan (mengagetkan) muncul selepas berita duka yangmenimpa AirAsia. Tengok saja laman-laman online yang menampilkan pernyataan-pernyataan jajaran plat merah, mulai dari Kementerian Perhubungan, BMKG, AirNav, dan sebagainya.

Fakta-fakta ini yang kemudian membuat saya secara pribadi juga bingung. Masa pesawat mau disamakan seperti bajaj, yaitu ”Hanya Tuhan dan Pilot (Sopir Bajaj) saja yang Tahu kemana dia Belok”. Fakta ini begitu nyata karena hingga hari ke-11 (Rabu, 7 Januari 2015), badan pesawat belum dapat ditemukan. Korban dan serpihan pun ditemukan pada hari ketiga pasca bencana. Itupun, mungkin berkat bantuan Tangan Tuhan yang mendengar keikhlasan doa keluarga dan sahabat, bukan karena alat canggih yang dimiliki negara.

Lalu kepada siapa kita harus bergantung? Fakta tersebut menandakan, bahwa sekali kita lepas landas dengan si burung besi, maka hilanglah radar atas diri kita. Wong, ELT yang dimiliki pesawat saja tidak berfungsi, dan ternyata-nya, tidak ada cadangan alat pemancar sinyal lain jika ada sesuatu yang berubah dari flight plan. Jadi, betulkan? Bahwa hanya Tuhan dan Pilot (mungkin Kopilot juga) yang tahu kemana Pesawat akan Belok.Dan hal ini, tidak berlaku untuk AirAsia saja, melainkan banyak kasus lainnya, termasuk misteri entah-kemana-nya si MH-70.

Sayang Sejuta Sayang

Sayang sejuta sayang makin dilayangkan pada pemilik otoritas penerbangan. Tanpa merujuk kepada akar masalah, kebijakan-kebijakan langsung diambil dalam masa yang dapat dikatakan penuh emosi ini, baik emosi positif untuk mencoba agar jangan tiada terulang lagi kejadian ini, serta emosi buruk untuk menunjukkan kehadiran pemerintah dalam setiap situasi.

Salah satu kebijakan reaktif yang saya cermati adalah rencana Menhub untuk membatasi harga tiket murah pada level 40%. Silakan kunjungi berbagai situs berita untuk mengkonfirmasi fakta tersebut. Alasannya adalah agar maskapai memiliki bantalan modal yang cukup untuk mengelola standar keamanan dalam penerbangan yang dilakukan. Karena nomor satu dalam dunia penerbangan, adalah keselamatan (yang ini saya setuju).

Namun, dalam pendekatan bisnis, tentunya ini menjadi suatu hal yang tidak kompetitif. Bukan berarti jadinya saing-saingan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini akan memanjakan maskapai-maskapai yang berbiaya sedang, yang selama ini ini, bahkan dengan tarif normal, melayani konsumen penerbangan layaknya penumpang bus di terminal AKAP (antar kota antar provinsi). Silakan lihat kembali berbagai berita delay-batal-dan bahkan jadwal penerbangan yang terbang lebih cepat dari jam seharusnya.

Untuk mempermudah perbandingan, maka saya menggunakan perbandingan harga tiket dari 3 maskapai, mulai dari yang berbiaya rendah (Low Cost Carrier), berbiaya sedang, dan penerbangan layanan penuh (full-service). Perbandingan akan menggunakan model pemesanan H-2, H-7, dan H-60 sebelum keberangkatan. Karena ini adalah fakta dan memang tersedia informasinya di website, dan tidak ada tujuan negatif, maka nama maskapai tidak akan disamarkan. Data diambil dari situs traveloka.com.

DOMESTIK

Harga Tiket Jakarta (CGK) – Surabaya (SUB), tidak PP

Penerbangan di Weekend, Jam tidak diperhitungkan

(dilihat terakhir pada 7 Januari 2015 sebelum pukul 07.00)

Maskapai

H-2

H-7

H-60

H-365

QZ

381.300

381.300

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline