Konflik di Laut China Selatan (LCS) semakin menjadi perhatian utama dalam studi geopolitik global, terutama bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Artikel ini membahas strategi peperangan anti-akses atau Anti-Access/Area Denial (A2/AD) dan implikasinya terhadap kedaulatan Indonesia di tengah ketegangan yang meningkat di LCS. Melalui analisis terhadap penerapan A2/AD oleh Tiongkok, artikel ini mengevaluasi ancaman terhadap wilayah Natuna Indonesia serta respon strategis yang telah dan dapat diambil oleh Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya.
Laut China Selatan merupakan wilayah strategis dengan kepentingan ekonomi dan militer yang sangat tinggi. Konflik di wilayah ini melibatkan klaim teritorial oleh beberapa negara, dengan Tiongkok mengklaim hampir 90% wilayah tersebut melalui "garis sembilan putus-putus." Indonesia, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam klaim teritorial, menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya di wilayah Natuna. Studi ini mengkaji strategi A2/AD yang diterapkan oleh Tiongkok dan dampaknya terhadap keamanan Indonesia.
Gambar 1. Akses Laut Cina Selatan
Peperangan Anti-Akses: Definisi dan Penerapan
Strategi A2/AD bertujuan untuk mencegah musuh memasuki atau beroperasi dalam wilayah tertentu. Dalam konteks LCS, Tiongkok telah mengembangkan sistem rudal anti-kapal, pertahanan udara, dan sensor bawah laut untuk mengamankan klaim teritorialnya. Pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan fasilitas militer memperkuat kemampuan Tiongkok dalam menerapkan strategi A2/AD.
Gambar 2. Peta Klaim Sengketa Di laut Cina Selatan
Ancaman di Laut China Selatan
Klaim teritorial Tiongkok menciptakan tumpang tindih dengan ZEE negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Insiden berulang yang melibatkan kapal penangkap ikan dan penjaga pantai Tiongkok di ZEE Indonesia di sekitar Natuna memperlihatkan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Strategi A2/AD Tiongkok meningkatkan kompleksitas situasi ini dengan kehadiran militer yang kuat di wilayah tersebut.