[caption caption="Suasana perpustakaan Ali Hasjmy, di sini tersimpan berbagai literatur klasik tentang kesusastraan Aceh."][/caption]Membatasi pemikiran tentang perjalanan kesusastraan Aceh semata-mata untuk kepentingan angkatan dan para pujangga/penyairnya merupakan suatu kenaifan. Kendaraan sastra yang begitu luasnya itu tidak dapat dibatasi hanya pada kinerja awal-awal sastra Aceh bangkit memenuhi manuskrip-manuskrip di Belanda, meskipun dari karya lama tersebut jejak sastra Aceh dimulai. Kebertahanan sastra Aceh masa kini dan nanti sepatutnya diwadahi oleh kesiapan para pemiliknya, orang Aceh.
Jejak kekinian sastra di Aceh sering sekali dipengaruhi rentang jarak dan waktu. Pada masa Aceh mencapai keunggulan Ilmu Pengetahuan di segala bidang, sastra juga mengalami pencapaiannya. Syair-syair dari Aceh mengisi segenap literatur di masa lalu tersebut. Hikayat-hikayat dan ilmu-ilmu yang memanfaatkan wadah sastra sebagai media menyampaikan makna dan kebijakan ulama maupun keputusan hukum juga adat dari Kerajaan Islam Aceh selanjutnya mewariskan kegemilangan tersendiri yang patut dijaga hingga tiada batas di masa depan. Tetapi untuk mewakili perkembangan sastra yang hadir di Aceh masa kini, tentu saja para penyair mesti menyiasatinya dengan memahamkan diri, di diri merekalah kini sastra digantungkan nasibnya. Kelemahan dan kelebihan kesusastraan Aceh kini dan nanti ada di pundak para pemikir.
Menyibak perpustakaan Ali Hasjmy, terdapat berbagai koleksi yang menuntun dan menunjukkan cerminan tingginya produktifitas karya sastra Aceh di masa lalu. Nama-nama yang tidak lekang dikutip oleh para penulis terkait sastra Aceh secara repetitif tersebutlah: Hamzah Fanshuri, Nuruddin Arraniry, Chik Pante Kulu, Syekh Abdurrauf al Singkili dan lainnya tersebut adalah skala awal dalam menyatakan peran kesusastraan sebelum abad ke-19. Refleksi kehadiran para penyair yang sekaligus ulama tersebut menghadapkan kepada peran sastra sekaligus berkait erat dengan peran agama Islam dalam mengharungi dunia kesusastraan dunia.
Selanjutnya, Aceh memasuki pemisahan antara sastra dan agama, terutama dari sisi pemerannya sendiri, artinya pergeseran antara penyair yang sekaligus ulama serta sebaliknya mulai terjadi. Sastra Aceh lalu dihadapkan kepada kekhususan dan sekaligus kemandirian. Ali Hasjmy yang merupakan salah satu tokoh pemeran dalam kesusastraan pada awal-awal kemerdekaan berkesempatan menelusuri berbagai rupa wajah baru sastra Aceh di masanya, meskipun bukan tokoh sentral, pada masa tumbuhnya keberlanjutan kiprah penyair Aceh mencipta karya sastra, perbenturan antara sastra dan agama semakin meruncing, namun tingkatan penulisan sastra itu sendiri mengalami perbedaan yang sangat transparan terutama dari penggunaan bahasa.
Dijabarkan secara luas dalam beberapa tulisan Ali Hasjmy bahwa pemakaian bahasa pada masa Kerajaan Islam Aceh terdapat tiga variasi, sesuai penggunaannya. Bahasa Arab pada masa itu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Melayu sebagai bahasa pemerintahan kerajaan sedangkan bahasa Aceh itu sendiri digunakan sebagai bahasa komunikasi lintas masyarakat.
Dengan demikian, karya sastra yang hadir terdahulu akibat pendekatan syiar Islam sebagai modulasi utama menjadikan sastra di Aceh terlahir dari khazanah sastra Arab (Islam) berikut pula dipengaruhi bahasa Parsi (Persia) dan tidak tertutup kemungkinan berbagai kebudayaan yang melintasi antara keduanya menjadikan kesusastraan Aceh sangat dipengaruhi oleh induknya tersebut yaitu bahasa Arab.
Syair-syair Aceh semisal nazam yang sarat menyiarkan pandangan dan ilmu agama Islam ke dalam wilayah literasi sastra Aceh pada masa itu menuntun pergaulan yang sangat akrab dwibahasa. Pada saatnya pula pemakaian bahasa Aceh mendapatkan pengaruh di dalam penciptaan syair-syair penyair Aceh disebabkan oleh makna-makna lokalitas yang urgensinya demi memenuhi rasa bahasa orisionalitas Aceh dalam karya tulis sastra. Tetapi perlu dipahami, bahwa kebijakan Kerajaan Islam Aceh menyiarkan ilmu pengetahuan (berikut sastra) ke seluruh wilayah kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui Kerajaan Islam Aceh sebagai pemimpin mereka dengan pakaian bahasa Melayu di wilayah nusantara telah menunjukkan pengaruh bahasa Melayu di masa tersebut sebagai tonggak kesusastraan nasional yang menjadi warisan hingga masa kini dan masa depan.
Memenuhi gambaran perkembangan kesusastraan masa kini, alangkah baiknya ketika seorang penyair Aceh memahami dengan baik apa dan bagaimana sastra Islam pada masa kejayaannya di masa lampau itu sehingga dengan demikian mereka tidak keliru dalam memisahkan kemandirian sastra Aceh di dalam wilayah kemajuan sastra nasional.
Bahasa Melayu yang menjadi satu komponen penting dalam menyiarkan peradaban dan kebudayaan melalui sastra yang dimiliki bahasa tersebut menuntun kepada berbagai parameter kebertahanan kesusastraan Aceh di masa kini. Ketika kemampuan menguasai bahasa Melayu tidak dimiliki oleh penyair Aceh, maka tak ayal, kemampuan dan ketinggian hasil karya cipta penyair Aceh dengan demikian menjadi goyah dan rendah, hal ini terkait parameter penguasaan bahasa Melayu di masa kini telah tak terbantahkan sebagai satu bagian pokok yang wajib terpenuhi.
Bahasa Melayu yang selanjutnya resmi menjadi bahasa nasional yang lalu disebut sebagai Bahasa Indonesia oleh sebagian besar penyair Aceh hanya dapat dikuasai ketika mereka mendapatkan pengetahuan kebahasaan, termasuk pengetahuan kesusastraan Melayu dari ruang lembaga pendidikan.
Di masa dayah, pesantren dan bilik-bilik mengaji digantikan secara penyempurnaan didaktik guna memenuhi tuntutan pendidikan Ilmu Pengetahuan Umum sekaligus Ilmu Pengetahuan Agama, maka muncullah Madrasah-madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, demikian pula pada tingkat kesarjanaan, muncul Zawiyah-Zawiyah, Ma'had dan lain sebagainya yang membawa bekal awal bahwa sastra Aceh mendapatkan masa yang ketat dalam hal tuntutan dunia pendidikan modern meskipun tidak meninggalkan sama sekali pola pendidikan Islam sebagaimana dayah dan pesantren tersebut.