"Saya hanya berbicara satu bahasa, dan itu bukan bahasa saya sendiri" -Jaques Derrida
Wifi mungkin dapat disebut sebagai messiah (penyelamat) bagi mereka yang lalai tidak memiliki kuota, bahkan WiFi pada titik radikalnya dapat menjadi hal fundamental yang mendasari eksistensi manusia di dunia digital.
Hal demikian dijustifikasi oleh Baudrillard dalam konsepnya tentang simulasi yang kemudian dilanjutkan oleh giddens bahwa posisi-posisi sosial manusia kontemporer itu ditentukan oleh kehadirannya di dalam dunia digital, membuat manusia sebagai makhluk fisikal menjadi objek-objek digital yang mana eksistensi manusia direduksi di sana.
Jika di dalam dunia fisikal manusia itu ber-ada menggunakan suatu konsep-konsep jiwa, maka di dalam dunia digital manusia itu berada menggunakan jaringan jaringan media. Yang mana medianya dibangun oleh jaringan yang disokong oleh wi-fi. Di sini kita dapat melihat betapa krusialnya wi-fi pada kehidupan manusia dalam membentuk eksistensinya.
Wifi sendiri memiliki suatu demarkasi (batas) sosial antara mana yang dapat dan tidak dapat menggunakannya, batas tersebut adalah password. Yang mana password wifi ini secara tautologis dapat menentukan eksistensi manusia di alam digital, password wifi secara anologis dapat disebut sebagai tiket masuk ke dunia (dalam hal ini dunia digital).
Refleksi Semiologi Password WiFi
Password WiFi sebagai suatu fenomena (layaknya fenomena lain) terdiri dari tanda (sign), password Wifi dalam konteks tuturan memiliki skema fonetik (suara) yang kompleks, dapat kita lihat ketika penutur password mengatakan bahwa password-nya ialah 'matamuficek', kesadaran kita secara intensional dapat menangkapnya sebagai 'matamuvicek' karena ada kemiripan fonetis antara 'f' dan 'v'.
Citra fonetik yang abstrak itu akan direpresentasikan secara sinkronik menjadi suatu bentuk-bentuk tekstual-fisikal (huruf) penyusun skema tanda password Wifi, bentuk-bentuk itu akan di isi dalam kolom password yang mana kesalahpahaman akan berakibat fatal.
Password Wifi sebagai suatu sistem bahasa jelas memiliki cara kerja budayanya, semisal dalam citra fonetik tadi bagaimana kesadaran mengalami kesalahpahaman dalam membentuk (menyusun citra fonetik dalam bentuk fiaikal) 'f' dan 'v' atau 'r' dan 'l'. Kesalahpahaman ini terjadi karena latar belakang kesadaran.
Pembentukan kesadaran tiap subjek, seperti yang dikatakan oleh Jaques Lacan, itu dilatari oleh budaya di sekitarnya.