"Bahasa adalah alat berdusta, jika ia tak dapat digunakan untuk berdusta, maka ia juga tak dapat digunakan tuk mengatakan yang sebenarnya"---Umberto Eco
Kita mungkin akan tampak heran ketika menerima ajakan ngopi teman, namun ketika di ngopi ternyata bukan kopi yang dipesan, terkesan kontradiktif bukan? Apakah orang seperti ini munafik dan patut dimaklumi? Atau ternyata aktivitas ngopi tidak lagi murni?.
Ketika kita sedang ngopi lalu yang kita pesan bukanlah kopi, apakah kita masih dapat disebut ngopi?. Hal yang terlihat sepele ini mungkin pernah kita pikirkan, namun lambat laun kita lupakan tanpa menemukan kejelasan, toh saat tahu jawabannya kita juga tak mendapat kopi gratisan.
Namun bagi sebagian orang, kontradiksi semacam ajakan ngopi tapi yang dipesan bukan kopi patut dikaji secara serius dan diriset secara mendalam.
Pasalnya, bisa saja persoalan 'ngopi' ini menjadi salah satu misteri yang terbesar di muka bumi, misteri yang tak akan diminati orang yang tak mengerti dan terperdaya oleh arus globalisasi. Rasanya sudah waktunya kita kaji secara serius misteri kontradiksi 'ngopi' ini.
Aktivitas Ngopi yang Dikelilingi Kontradiksi
Seperti yang kita lihat, aktivitas ngopi senantiasa dikelilingi kontradiksi, seperti ngajak ngopi tapi yang dipesan bukan kopi, bahkan di tempat saya apapun aktivitas nongkrongnya, ngopilah sebutannya. Seolah akan tidak relevan jika aktivitas nongkrong disebut nge-teh, nge-es, nge-mie dan lain-lain.
Kontradiksi seperti ini mungkin secara harfiah dapat membantah teori speech act atau tindak tutur yang dicetuskan oleh Austin, dalam teori tersebut Austin menjelaskan bahwa ada hubungan antara tuturan manusia dengan tindakannya.
Sedangkan tuturan manusia terkait 'ngopi' seringkali bertentangan dengan aktivitas yang dilakukannya seperti 'nge-es', 'nge-teh', dan 'nge-mie'.