Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Rafi Azzamy

Seorang Pelajar

Muhammadiyah, Masihkah Berkemajuan?

Diperbarui: 18 November 2021   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : PWMU.co

"Kemenangan Terbesar Dalam Suatu Kelompok Sosial adalah Kemenangan Dalam  Informasi yang diciptakannya" -Richard Broodie

18 November 109 tahun yang lalu, persyarikatan bernama 'Muhammadiyah' berdiri dan dideklarasikan di muka bumi, membawa visi besar dan berupaya mewujudkan Islam Rahmatan Lil alamin. Konsistensi Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang membawa jargon 'Islam berkemajuan' rupanya dibuktikan sejarah, terlihat dari banyaknya kiprah yang dihasilkan, banyaknya kiprah tersebut tak lantas menjadikan Muhammadiyah tak memiliki kekurangan, tentu ada hal yang harus terus dilakukan perbaikan guna tetap menjaga semangat 'berkemajuan'.

 Terlalu lama saya rasa, kita semua mengemban istilah "berkemajuan" di dalam persyarikatan Muhammadiyah, karena memang istilah "berkemajuan" sudah menjadi basis Ideologis dalam persyarikatan ini (baca : islam berkemajuan untuk peradaban dunia). Lalu apa itu Islam berkemajuan? Apakah Muhammadiyah masih relevan tuk disebut sebagai Islam berkemajuan? Saya mencoba mengkritisi kembali hal tersebut di dalam tulisan ini.

 Apa itu Islam Berkemajuan?

  Sekertaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu'ti mendefinisikan Islam Berkemajuan lewat buku  Kyai Syuja', murid KH Ahmad Dahlan, beliau mengatakan bahwa ada 5 pondasi Islam Berkemajuan, yakni :

1. Memahami Al-Qur'an dan sunnah secara mendalam
2. Melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif
3. Berorientasi kekinian dan masa depan
4. Bersikap toleran
5. Moderat dan suka bekerjasama

 Lima kriteria ini dapat menjadi referensi kita tuk menempelkan istilah "berkemajuan" pada ummat Islam, juga lima kriteria inilah yang menjadi pancajiwa sifat berkemajuan dalam ber-Islam. Gagasan "Islam berkemajuan" sendiri dicetuskan KH Ahmad Dahlan ketika melihat suatu konservatifme di dalam ummat Islam, sehingga Kyai Dahlan menginginkan sifat Islam yang reformis-solutif terhadap segala aspek kehidupan.

 Beberapa pihak agak-agaknya kurang setuju dengan istilah "Islam Berkemajuan" ini, Syaikh Abdulqadir As-sufi misalkan, beliau mengatakan bahwa para intelek seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Afghani dan semacamnya, membuat reformasi keislaman dengan mengorbankan esensi dan substansi Islam sehingga tercampur oleh paradigma Kapitalisme (baca : pesan kepada kaum muslimin).

 Saya memilih jalur tengah di sini, dengan tetap mempertimbangkan perkataan Syaikh Abdulqadir As-sufi, juga memasukkan paradigma "Islam Berkemajuan", Islam memang akan tetap memiliki relevansi dengan semua zaman, karena itulah istilah "berkemajuan" dalam agama Islam dibutuhkan sebagai premis kalau Islam memiliki relevansi dengan semua zaman. Tentunya dengan tetap memegang teguh asas fundamental Islam seperti yang dikatakan oleh Prof Abdul Mu'ti tadi.

 Dari sini kita dapat memahami bahwa konsep transaksi ideologis-lah yang menjadi postulat awal hadirnya paradigma ini (Islam Berkemajuan), seperti dalam paragraf sebelumnya. Juga sintesis suatu tesis dan anti-tesis lah yang menjadi dasar Dialektis paradigma ini, dengan menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai kebutuhan primer, lalu fatwa para alim ulama' sebagai kebutuhan sekunder, ditambah pertimbangan para intelek yang akan menjadi kebutuhan tersier. Ini berarti asas primer "Islam Berkemajuan" harus terpenuhi terlebih dahulu, setelah itu asas sekunder dan tersier-lah yang membantu mereduksi paradigma "Islam Berkemajuan" ini.

 Sampai sini mungkin kita sudah sedikit memahami dasar filosofis dari paradigma "Islam Berkemajuan" ini, marilah kita masuki topik utama tulisan saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline