Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Rafi Azzamy

Seorang Pelajar

Kenali Hoax dan Sebar Manfaatnya

Diperbarui: 5 Maret 2021   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : CyberThreat.id

"Informasi dapat menjadi parodi bila dipahami, namun menjadi tragedi bila disalah mengerti"

Hari ini kita mengenal hoax sebagai kambing hitam segala masalah, entah apa salahnya, kita mengetahui bersama bahwa hoax telah menjadi suatu dosa besar yang harus dihindari oleh umat manusia, saya turut kasihan kepada hoax, semoga ia dapat diampuni suatu hari nanti.

 Tulisan saya kali ini ingin sedikit mengangkat sisi positif hoax yang seringkali tak disadari oleh banyak orang, sebelum memasuki topik utama, saya akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu apa itu hoax. Secara etimologi, hoax berasal dari kata hocus, yang artinya mengelabui, sedangkan kata hocus sendiri adalah singkatan dari hocus pocus, yakni mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat terjadi punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.

 Di Indonesia, kata hoax dimaknai sebagai suatu kebohongan atau dusta, yang identik dengan informasi, kata hoax akan ditempelkan pada informasi yang dinilai bohong ataupun tidak akurat. Dari sini mungkin pembaca mulai merasa aneh, akan timbul pertanyaan seperti "Memangnya apa sisi positif dari informasi yang dusta? Bukankah hal tersebut malah meresahkan umat manusia?".

 Bahkan bukannya informasi bohong itu justru akan memberikan dampak negatif yang amat sangat luar biasa bukan? Seperti perpecahan, pertengkaran, fitnah dan segala macam, masih heran masa sih berita hoax ada manfaatnya?. Menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memasuki topik utama pada tulisan kali ini, yakni kebermanfaatan hoax untuk keberlangsungan akal umat manusia.

 Sedikit kisah, pada tahun 1996, edisi ke-46/47 jurnal ternama di Amerika serikat bernama Social Text, mempublikasikan paper sepanjang 39 halaman karya Alan Sokal (seorang fisikawan) yang berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity. Paper tersebut menjadi perhatian banyak khalayak seperti akademisi, cedekiawan juga pembaca jurnal Social Text, karena di dalam jurnal tersebut, ada 2 tema penting dari tradisi keilmuan yang berbeda, namun dapat disatukan olehnya (Alan Sokal) , ada "gravitasi kuantum" dalam kajian Sains, ada pula "hermeneutika" dalam kajian budaya.

 Menariknya jurnal tersebut, Sokal banyak mengutip para pemikir Postmo seperti Deridda, Lyotard maupun Irigaray. Sokal dengan sangarnya menggunakan matematika tuk menghubungkan observasi Deridda dengan Medan Einstein dalam diffeomorfisme ruang-waktu non-linear.

 Tak sampai situ saja, Sokal juga mengatakan bahwa spekulasi psikoanalisis yang diungkapkan Lacan telah dikonfirmasi oleh temuan terbaru dalam teori Medan kuantum, banyak yang memuji paper Sokal tersebut.

 Tanpa disangka-sangka, beberapa minggu kemudian tepatnya pada tanggal 15 April 1996 Sokal memuat essai berjudul Physicist Experiments with Cultural Studies di jurnal Lingua Franca, dimana Alan Sokal memaparkan kalau papernya di jurnal Social Text beberapa waktu lalu hanyalah sebuah parodi atau Hoax.

 Sokal menulis paper tersebut untuk menguji standar akademisi humoniara di Amerika Serikat, Sokal berspekulasi akankah jurnal budaya ternama di Amerika mempublikasikan sebuah artikel jika hanya omong kosong jika terkesan bagus?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline