Dalam dinamika etika, kita mengetahui bersama bagaimana manusia merumuskan baik-buruknya suatu perilaku maupun peristiwa dengan mudah, padahal rumusan tersebut dapat membunuh moral universal manusia secara signifikan, dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengkaji ulang dasar rumusan baik-buruknya perilaku murid pada guru dalam dinamika pendidikan institusional (sekolah).
Karena pada era Post-Rasionality atau Pasca-Humanisme ini, guru dengan gampangnya memutuskan tingkat moral muridnya, hal inilah yang menjadi suatu rentetan kausal deterministik (sebab-akibat) pada peristiwa dekadensi moral bangsa, kok bisa? Kita ulas bersama.
Kejanggalan-Kejanggalan Moral
Sebelum saya memasuki diskursus topik ini lebih jauh lagi, tentunya saya akan memulai bahasan dengan beberapa kejanggalan moral pendidikan yang dapat menimbulkan suatu dekadensi perilaku dan kecerdasan, beberapa di antaranya adalah :
1. Guru Egosentris
Menurut analisis kritis-empiris saya, terlepas dari posisi psikologis saya sebagai murid, guru-lah yang layak ditaruh pada awal kejanggalan ini, guru yang egosentris (keras kepala) tentunya.
Karena dampak kausal (sebab-akibat) dari ketakteraturan moral adalah arogansi guru yang merasa dirinya serba bisa, sehingga timbulah suatu elemen ultiliter yang disebut Philipia Foot dalam "trolley problem" sebagai fenomena "pilih kasih", karena ke-pilih kasihan guru egosentris kepada murid yang taat dan tunduk lah yang mengakibatkan tolak ukur moralitas kacau, kejanggalan inilah yang akan menjadi lubang dalam kejanggalan selanjutnya.
2. Perilaku Hedonis
Setelah egosentrisme milik guru, tentunya murid juga akan menjadi sebab kejanggalan dari dekadensi moral dalam sekolah, tepatnya perilaku hedonisme para murid-lah yang menjadi penyebab utamanya, karena murid yang hedon hanya berangkat ke sekolah untuk mencari kesenangan (bukan kesenangan akan pengetahuan) saja, seperti kumpul bareng teman, mencari pasangan, menghamburkan uang dan semacamnya.
Hal ini mengakibatkan suatu disfungsi moral yang menyelewengkan murid dari apa yang disebut kebaikan secara "normatif", tentunya hal ini juga ada sangkut pautnya dengan kesalahan metode pendidikan (pedagogi) sekolahan.