Siapa di dunia ini yang tak memiliki teman? Saya yakin, se-nolep2nya anda, pasti anda memiliki teman, karena teman adalah representasi dari hakikat kita sebagai makhluk sosial.
Tak perlu dipungkiri, bahwa bagaimana-pun, teman adalah seorang yang amat berarti di hidup kita, dapat membawa kebahagiaan dan kesenangan dalam keseharian kita. Dan sama-sama kita saksikan bersama, bahwa temanlah yang membantu kita untuk menyelesaikan suatu masalah (walau kadang menambah).
Namun, tak jarang juga, ada teman yang tiba-tiba menusuk kita dari belakang, lalu ia mengecewakan kepercayaan kita terhadapnya, kadang kita memaafkan dengan lapang dada, tak jarang pula kita menjauhinnya.
Karena itulah, pertemanan dapat dikaitkan dengan paradigma simbiosis, ada yang sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme), ada juga yang merugikan (simbiosis parasitisme) dan ada juga yang biasa-biasa saja/sekedar kenal lalu menyapa (simbiosis komensalisme).
Nahh, dari sini kita mungkin memilah-milah untuk menarik seseorang kepada definisi teman kita. Yap, sesuai insting para pembaca, di paragraf ini, saya akan mulai memasuki topik utama pembahasan dalam tulisan ini.
Saya tidak memasuki paradigma teoretis-metodis (teori) terlebih dahulu, karena bisa membuat suntuk nantinya, disini akan saya mulai dengan paradigma umum dalam pertemanan.
Manusia pada hakikatnya, akan selalu mencari kebahagiaan dan kesenangan dalam menjalani kehidupan, karena manusia adalah makhluk sosial, tentunya akan sangat wajar apabila ia mencari kesenangan dan kebahagiaan dengan mengajak atau mengikuti sesamannya.
Naahhh, disini-lah awal mula pertemanan itu terjadi, pada awalnya kita berkenalan dengan seseorang, lalu berharap orang itu akan membawa kebahagiaan untuk kita, disitulah kita memasuki ruangan yang disebut pertemanan tadi.
Tapi tak jarang terjadi fenomena "Bos dan Anak buah" dalam suatu pertemanan, hal itu masuk dalam kajian kepemimpinan manusia. Singkatnya, manusia akan terbagi menjadi dua jenis golongan dalam kepemimpinannya, yakni pemimpin dan anggota. Disinilah naluri kita aktif untuk memilih yang mana yang akan kita pilih, menjadi pemimpin atau anggota.
Sekarang kita akan membahas perihal fenomena satru (tak saling sapa), sebelum memasuki pembahasan yang lebih akademis, saya akan mengulasnya secara sederhana.
Ketika kita sedang memiliki teman, awalnya pasti merasa bahagia karena dapat mentautkan antara pikiran kita dengan seseorang, tapi lain halnya ketika tiba-tiba pemikiran dan pendapat kita berubah, lalu berbeda dengan teman/kawan kita, disitulah awal mula satru terjadi (baik perubahan positif maupun negatif).