Entah mana yang terbaik antara Pilkada langsung atau tidak langsung. Sebetulnya, masyarakat luas tidak terlalu mempedulikan antar keduanya itu. Mereka bisa menerima apa pun dan buktinya memang kita sudah melewati proses kedua model pemilihan kepala daerah itu.
Kebutuhan masyarakat bukan di Pilkada Langsung atau tidang langsung, toh apa pun yang terjadi bukan masyarakat pinggiran yang bakal terpilih jadi pemimpin atau kepala daerah. Mereka hanya butuh lapangan kerja yang cukup, penghasilan yang memadai, tingkat keamaan dan kenyamanan yang terjaga, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, dan peluang yang sama untuk berkarir di pemerintahan. Sebaliknya, mereka tidak menginginkan pejabat yang korup atau perlakuan hukum yang diskriminatif.
Faktanya, berdasarkan pengalaman, hasil kedua model Pilkada tersebut belum memuaskan. Kedua-duanya juga pernah menghasilkan pejabat yang korup. Memang tidak bisa digeneralisasi tetapi memastikan penyebab pejabat korup atau melakukan tindakan diskriminatif itu adalah Pilkada langsung atau tidak juga bukan hal bijak. Pejabat korup bukan semata karena proses Pilkada yang salah tapi bisa jadi karena pejabatnya itu yang bermasalah dan tidak berarti bahwa permasalahannya itu muncul dari Pilkada.
Mencermati argumen dari pendukung Pilkada oleh DPRD memang tujuannya patut dijadikan pertimbangan. Namun argumen yang mereka bangun harus dikritisi. Ambil dua contoh bangunan argumentasi mereka yaitu Pilkada Langsung itu Boros dan Pilkada langsung dapat menimbulkan konflik horizontal. Pertanyaanya; boros di bagian mana? apakah boros dari penyelenggaraan, dalam artian uang negara yang dikeluarkan. Menurut hemat saya pada wilayah itu memang masih perlu diperdebatkan dan bisa dikalkulasi ulang. Mau tidak mau, harus diakui pengeluaran untuk proses penyelenggaraan Pilkada Langsung itu tinggi tapi itu adalah resiko demokrasi. Namun, pengeluaran yang tinggi itu sesungguhnya bukan dari uang negara melainkan uang dari kandidat. Sebab mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk berkampanye, membeli suara, membayar upeti, dan lai-lainnya.
Sebenarnya, persoalan ini bukan masalah rakyat atau negara yang harus mengeluarkan uang melainkan masalah dari Si Elit atau Kandidat itu. Mereka harus mengeluarkan uang lebih karena mereka berusaha melakukan cara pintas untuk menang di Pilkada. Oleh karena itu, mereka mengeluarkan uang untuk membeli suara, beriklan sana-sini, memasang spanduk dan baliho, membayar konsultan politik dan tim ses, atau membayar upeti ke partai untuk dicalonkan. Itu semua membutuhkan uang yang tidak sedikit. Pada hal, substansi dari Si Elit atau kandidat seperti ini harusnya disingkirkan, mereka tidak pantas untuk ikur bertarung di Pilkada sebab mereka adalah kandidat atau elit kotor dan penipu. Lagian, cara-cara itu juga tidak menjamin untuk menang. Berbeda dengan kandidat yang berbasis visi dan rekan jejak yang bagus, tentunya mereka tidak harus mengeluarka uang yang begitu banyak. Rekam jejak dan visi-nya itulah yang akan bekerja secara otomatis untuk mendulang suara.
Soal Pilkada langsung dapat menimbulkan konflik horizontal. Iya, argumen ini bisa jadi ada benarnya. Pertanyaannya apakah ada jaminan Pilkada oleh DPRD tidak akan menimbulkan konflik horizontal? Itu tidak menjamin juga, potensi konflik horizontal itu tetap ada. Hal yang harus dilakukan adalah pencegahan. Lagian, konflik horizontal itu biasanya terjadi karena ada pemicunya atau provokatornya. Di wilayah ini peran elit sangat membantu. Jika Elit atau kandidatnya itu memiliki niak baik dan serius, mereka dapat meredakan dan mencegah potensi konflik itu dengan muda. Si Elit tinggal memerintahkan pendukungnya untuk tenang dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan ketimbang mengeluarkan energi untuk merebut kekuasaan secara tidak sehat. Saya yakin dan percaya bahwa masyarakat pun akan ikut sebab masyarakat tidak akan mungkin berkonflik jikalau tidak diprovokatori. Lagian untuk apa berkonflik, tidak ada untungnya juga, justru hasilnya cum penderitaan yang berkepanjangan.
Trus, hal lain yang takkala penting adalah penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ketegasan tindakan oleh penegak hukum akan mencegah konflik horizontal itu. Ambil contoh Sidang Penetapan Hasil Pemilihan Umum oleh Mahkamah Konstitusi kemarin, Polisi dengan sigap dan tegas menindak kelompok pendemo yang berpotensi rusuh. Setelah mereka dibubarkan menggunakan tembakan gas air mata, suasana kembali normal dan potensi rusuh itu pun hilang. Hasilnya, aman dan terkendali. Artinya, ketegasan penegak hukum sangat diperlukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H