Lihat ke Halaman Asli

MUHIMMATUN NAILATULALIYAH

Mahasiswi S1 Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pelatihan Soft Skill di Rumah Kearifan: Refleksi Perjalanan Mengenal Diri

Diperbarui: 24 Desember 2024   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di Rumah Kearifan, sebuah perjalanan pemahaman diri telah membuka mata saya tentang makna sesungguhnya dari soft skill. Dalam pelatihan satu hari yang dipandu oleh Bu Zia dan Pak Muqowim, saya menemukan bahwa pengembangan soft skill bukan sekadar tentang keterampilan berkomunikasi atau berorganisasi, melainkan tentang perjalanan mendalam mengenal dan mengendalikan diri.

"Mau jadi apapun nanti, soft skill akan selalu penting," ujar Bu Zia mengawali sesi. Melalui pertanyaan sederhana "Apa yang kamu ketahui tentang teman-teman kalian?", kami memulai perjalanan pemahaman diri yang mendalam. Kontrak belajar dibuat dengan aturan sederhana namun bermakna: setiap peserta harus mendapatkan sesuatu sebelum meninggalkan ruangan. Melalui konsep "Guardian Angel", kami diajak memahami pentingnya proaktif berbuat kebaikan, bahkan kepada mereka yang mungkin tidak menyukai kita.

Pak Muqowim memulai sesinya dengan aktivitas non-verbal yang unik: berbaris berdasarkan huruf pertama nama dan tidak diperbolehkan berbicara.  Dilanjutkan dengan memilih huruf yang bermakna dan mengaitkannya dengan nilai karakter yang ingin dikembangkan. 

Sesuai dengan harapan di kontrak belajar awal tentang mengenal diri lebih dalam, Pak Muqowim mengajak kami melakukan perjalanan ke dalam diri. "Setiap orang pasti punya perjalanan hidup yang berbeda-beda," ujarnya membuka sesi. Beliau meminta kami menuliskan momen-momen berharga bersama orang terdekat, terutama ayah, ibu, dan keluarga. Kami diminta merenungkan nilai-nilai yang bisa diambil dari pengalaman tersebut, membayangkan bagaimana jika nilai-nilai itu diterapkan di lembaga, dan merefleksikan apakah nilai-nilai tersebut sudah kita terapkan dalam keseharian, termasuk dalam pilihan profesi sebagai mahasiswa Pendidikan Agama Islam.

"Dan semua ini tadi bagian dari intrapersonal soft skill," kata Pak Muqowim. "Setiap orang mempunyai garis hidup yang berbeda-beda dan itulah keunikan. Ketika kita tidak bisa memahami keunikan diri kita, kita tidak mau memahami keunikan orang lain, maka akan muncul persoalan. Karena ketika kita tidak mau memahami keunikan diri kita, kita tidak tahu sebenarnya kita ini siapa? Berasal dari mana?"

Saat ditanya nilai apa yang bisa diambil, teman-teman menyebutkan berbagai hal seperti menghargai, kebebasan berpendapat, dan ekspresi. Pak Muqowim menjelaskan bahwa dari cerita masa lalu dan pengalaman personal, ternyata ketika kita mencoba berhenti sejenak, merefleksi, merasakan dan memaknai, selalu ada nilai yang bisa diambil untuk melangkah ke depan. Ini semua berkaitan dengan kontrak belajar di awal - sebuah strategi untuk lebih melihat ke dalam diri (intrapersonal) sebelum beralih ke interpersonal. Di sini, beliau menyoroti persoalan generasi Z yang kerap dikendalikan lingkungan, bukan mengendalikan diri sendiri. "Respon kita lebih penting daripada kejadian apa yang terjadi," ujarnya bijak. 

"Membaca tanpa refleksi seperti makan tanpa dicerna," kata Pak Muqowim, mengingatkan bahwa dari 60 ribu momen yang kita miliki setiap hari, berapa banyak yang benar-benar kita maknai?

Setelah istirahat, Pak Muqowim membawa pembelajaran yang masih terkait dengan intrapersonal namun mulai menjembatani ke interpersonal. Beliau membawa sejumlah kartu dan mengajak kami melihat lebih dalam ke diri masing-masing, mendialogkan kualitas atau perasaan yang saat ini paling kita miliki atau minati. "Insya Allah, apa yang teman-teman refleksikan akan sesuai dengan kartu ini," ujarnya sambil meminta kami mengambil kartu secara acak. "Ketika mengambil kartu ini, Allah mengizinkan di situlah teman-teman akan merasakan kualitas diri masing-masing, meskipun bisa saja berubah." Satu per satu, kami menyampaikan nilai dan makna dari kartu yang didapatkan.

Setelah merefleksikan isi kartu tersebut selesai, selanjutnya adalah berlatihan menjadi pendengar aktif. Beliau menyampaikan "Karena setiap orang itu biasanya hidup tidak sesuai harapan," lanjut Pak Muqowim, "antara harapan dengan kenyataan tidak sesuai, dan itulah yang dinamakan masalah." Beliau menjelaskan bahwa terkadang jarak antara harapan dan kenyataan begitu jauh, membuat kita merasa berat dan butuh menceritakannya kepada orang lain. Di sinilah pentingnya mencari pendengar aktif, meski tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik. Kami kemudian diajak berlatih menjadi pendengar aktif dengan versi apa adanya. 

Kami belajar menjadi pendengar aktif, yakni sebuah keterampilan yang meliputi kemampuan menguatkan, membebaskan ekspresi, menunjukkan antusiasme, dan responsif. Melalui berbagai aktivitas, kami belajar membedakan antara empati dan simpati, sambil memperdalam pemahaman tentang pentingnya memaknai setiap pengalaman.

Kemudian dilanjutkan dalam sesi visualisasi masa depan, Pak Muqowim membagikan hasil riset Amerika yang menarik: hanya 3% orang yang sangat sukses dengan visualisasi tertulis dan bergambar, 10% sukses tanpa visualisasi tertulis, sementara 60% hidup biasa saja dengan tujuan yang tidak jelas dan 27% gagal atau tidak sukses. "Semakin jelas mimpinya, semakin jelas langkahnya," ujarnya, menggunakan analogi sederhana tentang memasak nasi goreng - ketika tujuan jelas, setiap langkah akan mengarah ke sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline