Lihat ke Halaman Asli

Konflik Kepentingan dalam RUU MK

Diperbarui: 30 Agustus 2020   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perubahan Undang-Undang dalam suatu Negara memang sangat dibutuhkan. Sebab sifat hukum selalu mengalami ketertinggalan dengan kondisi zaman sehingga hukum harus selalu diperbarui dalam menjawab keinginan masyarakat. Apalagi didalam UUD 1945 bangsa Indonesia telah mendeklarasikan diri, selain Negara yang memberi kedaulatan kepada rakyat juga sebagai sebuah Negara hukum. Artinya segala sesuatu yang dilakukan oleh Negara dan seluruh warga Negara Indonesia harus dijalankan berdasarkan demokrasi dan hukum. Tidak boleh ada perilaku yang mencederai hukum dan tidak boleh ada regulasi yang bertentangan dengan UUD 1945 di Indonesia.

Olehnya itu kita mengenal istilah kekuasaan kehakiman yang dituangkan dalam UUD 1945 pada bab kekuasaan kehakiman, dijalankan oleh  Mahkamah Agung (MA) beserta peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini dikarenakan Perkembangan lembaga negara di negara-negara di dunia tidak berhenti pada saat lahirnya negara tersebut, tetapi selalu berkembang seiring perkembangan system ketatanegaraan. 

Dalam sistem ketatanegaraan telah  lahir   lembaga negara baru  yang pada awalnya  memiliki kewenangan untuk melakukan  pengujian Undang-Undang (Judicial review) dengan alasan   pemegang   kekuasaan   untuk   membuat   dan   menjalankan   undang-undang dirasakan   menjalankan   kekuasaannya   dengan   sewenang-wenang   sehingga   rakyat tidak   merasakan  dengan   punuh  rasa   keadilan   dalam   bernegara. jika dilihat  Sejarah   lembaga negara   yang   memiliki  kewenangan   menjalankan pengawasan, bertujuan agar hak-hak warga Negara yang dijamin konstitusi (hak konstitusional) dapat terjamin keberadaannya. fenomena ini terjadi  di dunia dengan berkembang pesat melalui   tahap-tahap  pengalaman  yang  beragam di setiap  Negara.

Di Indonesia MK lah yang mengawal jalannya pelaksanaan pembentukan Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab hans kelsen menjelaskan bahwa agar terjadi tertib aturan hukum disuatu Negara maka Antara aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Selain itu MK juga merupakan penafsir konstitusi, pengawal konstitusi, penjaga Hak Asasi Manusia sehingga benar-benar dalam menjalankan tugas sangat berpotensi berbenturan dengan kekuasaan. Apalagi di Indonesia hakim MK diajukan untuk ditetapkan sebagai hakim oleh lembaga yang berasal dari partai politik yaitu DPR dan Presiden. Sulit untuk tidak mengatakan sangat potensial konflik kepentingan Antara hakim MK yang dipilih dan DPR-Presiden yang memilih. 

Saat ini DPR dan Pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK). Kita ketahui bersama Undang-Undang No. 8 tahun 2011 tentang MK selama ini menjadi acuan regulasi khusus MK. Memang harus dilakukan tinjauan ulang berupa revisi atas Undang-Undang MK, untuk disempurnakan. Seperti hukum acara kemudian untuk membenahi paradigma  MK yang kadang tidak konsisten.  Misalnya terlihat dari Antara satu putusan dengan putusan yang lain yang kerap kali bertentangan, memang harus dilakukan pembenahan namun kalau ternyata wacana yang bergulir hanyalah persoalan jabatan, maka kental sekali konflik kepentingan dalam pembentukan RUU MK.

Memantik Kecurigaan publik

Ada beberapa hal potensial memantik kecurigaan publik terhadap RUU MK yang saat ini berkembang, ditambah dengan perdebatan pembahasannya cenderung pada persoalan jabatan belaka. Pertama, Pilpres 2019 yang lalu MK di isukan terafiliasi dengan kekuasaan. Sikap MK yang membatasi saksi dalam proses pembuktian sengketa Pilpres di MK, dihubungkan dengan  pengajuan hakim MK yang berasal dari dua lembaga politik (DPR dan Presiden). Serta putusan MK hasil sengketa Pilpres 2019 tanpa adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat).

Rangkaian perjalanan sengketa pilpres yang menurut hemat penulis wajar jika publik curiga skalipun hal tersebut memang tidak berdasar secara fakta. Kemudian setelah pilpres selesai, kasus suap yang menimpa oknum KPU RI, Maka yang terjadi ditengah publik bergulir isu tentang keraguan independensi terhadap penyelenggara pemilu yang lagi-lagi  kembali memantik kecurigaan publik. 

Kedua, RUU Omnibus law, yang dipaksakan keberadaannya skalipun ada beberapa pasal yang dianggap tidak mendukung rakyat kecil, seperti persoalan ketenagakerjaan. Selain itu,  presidential threshold, ambang batas pencalonan presiden yang terkesan oligarki (dikuasai sekelompok orang) saat ini diwacanakan naik. Padahal secara hak asasi berpolitik tentu mengebiri hak politik warga Negara yang ingin berpartisipasi. bukankah Publik juga tentu ingin disuguhkan banyak calon alternatif. jangan sampai demokrasi kita menjadi elitis oligarki dan terkesan menutup akses kontestasi hanya pada orang tertentu. 

Ketiga,  Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK merupakan regulasi yang dianggap melemahkan KPK. Saat ini sedang di judicial review oleh berbagai elemen masyarakat di MK. DPR sangat ngotot saat mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019, skalipun mendapat penolakan luas dimasyarakat. oleh karena itu RUU MK yang terpolarisasi dengan wacana isu jabatan terhadap hakim MK tentu akan memantik perdebatan ditengah publik, mengenai ada apa dibalik semangat Pemerintah merevisi Undang-Undang MK.

Muatan RUU MK yang subtantif

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline