Situasi politik di Israel semakin memanas seiring ketidaksetujuan mitra koalisi sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terhadap kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas di Gaza. Tiga menteri dari partai sayap kanan Jewish Power, yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, menentang kesepakatan tersebut.
Kesepakatan tersebut mencakup pembebasan 50 wanita dan anak-anak yang disandera di Gaza sebagai imbalan gencatan senjata selama empat hari, dan pembebasan 150 tahanan Palestina di Israel, dengan kemungkinan pembebasan lebih banyak dari kedua belah pihak.
Netanyahu, yang sebelumnya menentang penghentian serangan militer terhadap Hamas, akhirnya mencapai kesepakatan setelah tekanan politik meningkat. Dalam rapat kabinet pada Selasa malam, terjadi perdebatan sengit antara anggota partai sayap kanan dan garis keras.
Menteri Keamanan Nasional Ben-Gvir secara keras mengkritik kesepakatan tersebut dan menekankan bahwa gencatan senjata hanya menguntungkan Hamas. Ia juga menyatakan bahwa pembebasan sebagian sandera tidak dapat diterima, dan kesepakatan tersebut dapat berdampak buruk bagi Israel.
Meskipun adanya ketidaksetujuan internal, beberapa anggota kabinet, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Partai Zionis Religius, memberikan dukungan terhadap kesepakatan tersebut. Mereka percaya bahwa ini adalah pencapaian yang sesuai dengan tujuan perang dan tidak merugikan Israel.
Diskusi seputar gencatan senjata mengungkap upaya Netanyahu dan kabinetnya untuk menjaga keseimbangan di antara dua kubu bersaing di internal Israel. Ancaman demo besar dan pemboikotan Pemilu 2024 dari pihak Apdesi menjadi tantangan serius dalam mengelola dinamika politik di tengah ketegangan regional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H