Lihat ke Halaman Asli

Muhammadiyah dan Upaya Pemurnian Sumber Hukum Islam

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammadiyah

Muhammadiyah (Photo credit: Wikipedia)

Semenjak berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah berdiri kokoh berperan dalam upaya memurnikan sumber hukum Islam. Melalui upaya tersebut, diharapkan umat Islam bisa memilah dan memilih sumber-sumber hukum Islam yang memiliki tingkat “kebenaran” tertinggi sebagai rujukan dalam mengamalkan syariat Islam. Bersamaan dengan upaya tersebut, Muhammadiyah juga berupaya untuk memilah dan merekonstruksi bagian dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad yang termasuk dalam kategori adat istiadat saja dan yang termasuk dalam kategori Sunnah Nabi.

Sebagaimana kita mengetahui, bahwa selama berabad-abad umat Islam sudah terperosok dalam taklid buta terhadap “fatwa” yang “katanya” berasal dari Nabi Muhammad SAW. Pada awal berdirinya Muhammadiyah dan mungkin bersambung hingga kini, masih banyak ulama yang menggunakan hadits-hadits dengan derajat kepercayaan “lemah/dhaif” sebagai dasar hukum pengamalan beberapa syariat Islam.

Kita juga tentu masih ingat ayat-ayat setan karya Salman Rusdi, kemudian karya-karya “ulama” lain yang “sungguh memprihatinkan” ketika mereka menggambarkan tentang pribadi dan kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan umat Islam. Banyak di antara mereka yang menggunakan sumber-sumber yang belum divalidasi keshahihannya, sumber hukum berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya”, sehingga memunculkan informasi yang bisa menyesatkan umat.

Akan tetapi, harus diakui bahwa terjadinya peristiwa itu bukan kesalahan murni dari mereka sebab ternyata dari kalangan ulama Islam sendiri masih banyak yang menggunakan sumber-sumber hukum yang berderajat “lemah”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya” sebagai sumber pengamalan ajaran Islam. Sehingga tidak heran, penulis sekelas Salman Rusdi juga bisa menggunakan sumber hukum berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya” itu untuk mengacaukan umat Islam sendiri.

Dalam upaya memurnikan sumber hukum ajaran Islam, dalam hal ini hadits Rasulullah, agar tidak bercampur dengan “hadits-hadits” berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya”, maka melalui berbagai kajian dan telaah komprehensif, Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja keras memilah hadits-hadits yang masuk dalam derajat tertentu.

Selama lebih dari 15 abad berlalu, tentu banyak bermunculan ribuan hadits, bahkan mungkin mencecah jutaan hadits, yang seakan-akan dapat dipercaya dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam. Dari ribuan atau jutaan hadits itu, tentulah secara logika akan sulit untuk memetakan derajat hadits dan perawinya. Akan tetapi, secara logika pula dapat difahami bahwa ribuan, jutaan bahkan milyaran hadits dapat ditelusuri derajat hadits-hadits tersebut, sekali lagi seberapapun banyaknya hadits, melalui ilmu yang dinamakan ilmu hadits.

Dilihat dari tingkatannya, hadits shahih terbagi dalam beberapa derajat, yaitu:

  1. Bila diriwayatkan dengan sanad-sanad dari “ashahhul asanid” (sanad paling shahih) seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

  2. Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq’alaih).

  3. Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline