Seagung kata dalam renungan yang merambat dalam bait-bait cinta sang hamba, bertafakur dalam hening hati, memuji dan mangangkat mata menghadap Sang Maha Tinggi. Relung-relung pikiran yang mulai penuh oleh debu-debu keramaian, terlepas terbasuh oleh air mata yang menetes di bilik kesunyian kesendirian sujud.
Begitu indah dalam dunia, berputar menempuhi kerja dan bergelut dengan keringat siang dan malam. Siang yang panas, diusik derai air dari langit, gerimis mengguyur kepenatan pori-pori. Malam yang sepi, mengayung menggayuh roda menerobos keremangan kota, dengan deretan kendaraan lalu lalang, dan cahaya redup menjadi santapan berlabuh. Sejatinya hidup menjadi kabur, kebenaran hati tidak dipedulikan, semua berhimpitan dengan bisik nafsu yang mengguncang kesabaran dan ketenangan nafas-naas, tersedak kericuhan mimpi. Peluh menetes menelusuri kulit, yang mula keriput dimakan derap waktu. Tak dihiraukan semua panggilan adzan, melalaikan peraduan tempat mengadu dan bercerita kepada Sang Maha Sejati. Letih dan lelah bagaikan semburan semangat yang membara saat jiwa sebenarnya tersentak di tepi roda masa, berharap kembali ke haribaan-Nya, tetapi tangan dan kaki terbelenggu mengais khayalan.
Semua berlalu di pagi dan sorenya. Rintihan Nafas Muthmainnah menjadi sampah bertaburan menjadi bintang yang tinggi jauh di angkasa, melupakan cinta dan ketulusan ikhlas perhambaan ini. Semua terbit ketika pikiran dirantai anggapan, ketika hati digelangi tali mengikatnya hingga hembusan nafasnya memburu-buru syahwat-syahwat yang kelaparan dan kehausan, berpelukan dengan boneka mimpinya. Kelembutannya menjadi sentuhan halus merangsang kesadaran, menawarkan kedamaian dan kenikmatan semu dan selaras membujuk ke panggung cerita dan episode kegelapan raganya. Kesadarannya tak jua berdegup menggapai harapannya untuk kembali, bahkan jemarinya tertutup oleh lukisan keindahan mata, dan kesegaran ragawi, bermandikan keringat nafsu, memburu mimpi bayangan kenikmatan. Akhirnya damai-damai dan jiwa-jiwa yang tenang kabur, menjadi samar, lantas lenyap di pantai lautan keringat nafsu yang menguburnya, memadamkan sinar petunjuk, kekuatan cinta-Nya. Semua tiba-tiba menjadi lunglai, tak jua memaksanya pulang walau sudah larut senja, tak lagi panggilan itu berarti baginya, mungkin sampai matahari dihanguskan horizon ufuk.
Amarah ini hidup dan menjadi kerangka, menggerakkan kendali tujuh sifat yang mulai lemah dan lunglai, tak berdaya menatap silau cahaya terang, tak mampu jemari tangan membasuh muka yang kusut oleh air derita batin, kemudian tidak kuasa menahan diri dan terpenjara oleh nafsu amarahnya. Duka dan sengsara tak mampu ditepikan, menjadi kubangan pemandiannya, menodai dengan igauan saat tertidur dalam belalak matanya. Lambaian dedaunan rindang tak berarti dan semua hilang ditelan buih di bibirnya, yang membusuk dan menjadi bangkai ratapan dan penyesalan. Air tangisan memecahkan pendengaran dan penglihatan, melalaikannya akan amanah tujuh sifat-Nya yang hadir teruntai dalam badannya. Keagungan-Nya menjadi hiasan kosong baginya, menjadi sampah yang dilipatnya dengan akal beku dan nafsu tak bermata.
Bagaikan malam tanpa sinar, bagaimana siang tanpa mata, pengembaraan nafsu amarah melewati titian tak berujung, menjadi kenangan luka dan terasa pahit di akhirnya. Mimpi-mimpinya meninggalkannya sendirian, dengan aroma menyengat hidung, tergolek menahan sakit dan penyesalan, membelai angan-angan yang dipuji sepanjang hidupnya, semua hilang…tujuh sifat-Nya kembali kepada asal-Nya Di Atas, menghadap Sang Maha Tinggi.
Tuhan..Aku kembali kepada-Mu, di bumi itulah dia sang nafsu amarah berasal dan memilih menetap, dan Aku dilupakannya…Aku dibiarkannya sendirian tanpa pernah dia menyapa-Ku, demi kesenangan dan pelukan nafsunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H