Lihat ke Halaman Asli

Muh Hafizh Khair

Mahasiswa/Kepala Bidang Pengabdian Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UKRI/Universitas Kebangsaan Republik Indonesia

Konsep Politik Islam

Diperbarui: 19 Januari 2024   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap masyarakat seharusnya tahu apa itu politik dan cara berpolitik, tapi tidak semua tahu pentingnya berpolitik dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut KBBI politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan. Ia juga berarti segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan, atau cara bertindak dalam menangani dan menghadapi suatu masalah. Menurut Nicholas Machiavelli, politik berarti tindakan dan keputusan yang diambil oleh penguasa yang melancarkan nilai otentik sehingga memancarkan suatu kepemimpinan yang khas.

Pemikir lainnya, Thomas Hobbes (1588-1697) mengatakan bahwa bila tidak ada negara, maka manusia akan punah. Negara didirikan untuk menjamin eksistensi manusia. Akan tetapi setelah tercipta, penguasa politik memiliki kekuasaan mutlak. Kemutlakan wewenang negara dimaksudkan agar manusia dapat hidup tentram, teratur, dan damai. Sifat ini menyebabkan apa yang disebut "Adil" harus ditentukan oleh negara. Artinya negara menjadi sumber kebenaran, penentu mana yang benar-salah, baik-buruk dari tiap-tiap manusia di dalamnya.

Konsep politik seperti diatas membawa negara menjadi absolut kekuasaannya. Pun dalam politik versi Hobbes, manusia menjadi mahkluk yang egois, tidak ada yang benar-benar baik, sehingga seluruh wujudnya disandarkan pada prinsip untung-rugi yang pragmatis. Lalu bagaimana Islam mengatur politik? Apa yang membedakannya dengan politik barat?

Perspektif politik barat tadi tidak dapat diterapkan dalam Islam yang politiknya sudah integral dan menerapkan amar ma'ruf nahi mungkar. Meski Nabi dianggap sebagai pembawa misi politik untuk menaklukkan non-arab, nyatanya pengikutnya kebanyakan dari orang-orang lemah dan perlu dibela, bukan golongan aristokrat yang berkuasa. Meski sabda Nabi menjadi keputusan mengikat, musyawarah masih terbuka bersama para sahabat. Tidak sedikit ide-ide para sahabat yang diterangi Nabi sebagai ide politis bersama. Tentu ini berbeda dengan politisi pencari kekuasaan.

Ibnu Taimiyah, sebagai seorang ulama yang bergelut di ilmu politik mengatakan bahwa sistem kenegaraan yang nubuwwah, dan bukan imamah, menunjukkan bahwa rezim di dalamnya mempunyai gagasan yang revolusioner dan baru. Ia tidak ingin rakyat hanya menjadi objek dalam sebuah negara, tapi ia ingin rakyat menjadi subjek atas negara. Bagi beliau mekanisme dan sistem tidak terlalu penting, yang penting adalah tercapainya keadilan dan amanah. Dan Ibnu Taimiyah cenderung pada bentuk perpolitikan yang demokratis dan konstitusional yang berlandaskan pada nilai kerakyatan, memberikan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Pemikiran ini dapat diselaraskan dan sejalan dengan asas demokrasi saat ini, bahkan ia bisa digunakan untuk membangun tatanan pemerintahan Indonesia.

Dengan konsep ini, dapat dirumuskan bahwa praktik kenegaraan bukan atas dasar nas formal (tekstual), akan tetapi berdasarkan kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Dengan demikian, dasar maslahat mempunyai peranan di dalam masalah kenegaraan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline