Sebelum acara akad nikah, orang-orang suku bugis biasanya melakukan suatu ritual yang secara hakikat bertujuan untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Ritual tersebut menjadi suatu budaya yang ada dimasyarakat dan hingga kini eksistensinya tetap terjaga yang dibuktikan masih banyaknya masyarakat yang melakukannya. Dan budaya tersebut bernama Mappacci.
Mappacci merupakan suatu adat sebagai rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan guna untuk membersihkan segala sesuatu dan menyucikan diri dari hal-hal yang tidak baik sebelum menghadapi bahtera rumah tangga. Hal tersebut tercemin dari makna simbolik yang ditunjukkan pada baha-bahan yang digunakan. Seperti daun pacci, melambangkan kebersihan atau kesucian; kain sutera Bugis 7 lapis, yang melambangkan penutup aurat atau harga diri bagi masyarakat Bugis; lilin, bermakna sebagai penerang dalam berumah tangga; buah kelapa, bermakna calon pengantin dapat menjadi manusia yang berguna dan bisa diandalkan; beras atau benno, bermakna sebagai makanan pokok sehingga diharapkan calon pengantin selalu menjadi pilihan utama dan dapat menerapkan filosofi padi "semakin berisi maka semakin merunduk", berarti calon pengantin diharapkan untuk menjauhi sifat sombong serta selalu rendah hati dalam melangkah dikehidupan berumah tangga; daun pisang, bermakna saling menyambung atau hidup berkesinambungan yang berarti calon pengantin dapat berguna atau bermanfaat di dalam masyarakat; daun nangka (daun panasa), dalam adat Bugis kata panasa mirip dengan kata manasa yang berarti cita-cita luhur sehingga calon pengantin diharapkan untuk selalu berdoa agar dapat membangun rumah tangga dengan sejahtera dan dimurahkan rezeki.
Selain makna simbolik, terdapat juga nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Mappacci antara lain, (1) kebersihan raga dan kesucian jiwa; (2) nilai religius; (3) nilai penghargaan terhadap kaum perempuan; (4) serta nilai sosial dan gotong royong. Keempat nilai tersebut apabila diresapi dengan baik, maka tentunya akan berdampak pada kelangsungan kehidupan pasca pernikahan. Akan tetapi pada realitanya, nilai-nilai tersebut telah mengalami degradasi nilai yang disebabkan budaya Mappacci hanya dijadikan sebagai formalitas belaka, hal tersebut berdampak kepada tidak tersampaikannya secara baik nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Mappacci kepada calon pengantin.
Menurut penulis, budaya terbentuk karena adanya kesepakatan masyarakat di masa lalu yang tentunya memiliki maksud tertentu dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dan pada budaya Mappacci, budaya tersebut dilaksanakan untuk mempersiapkan calon pengantin untuk siap membina rumah tangga sehingga segala permasalahan yang terjadi ke depannya dapat teratasi. Namun melihat kondisi saat ini, telah banyak kasus yang terjadi dalam bahtera rumah tangga salah satunya KDRT. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya dapat teratasi apabila sejak awal calon pengantin sudah mempersiapkan dirinya secara baik Sehingga segala konsekuensi dapat dilalui bersama. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Mappacci dengan tujuan dapat mengurangi permasalahan yang ada dalam membina rumah tangga salah satunya KDRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H