[caption id="attachment_95467" align="aligncenter" width="180" caption="kitalah sampah"][/caption] Kita hidup di dunia yang penuh dengan sampah. Maka tak perlu menyalahkan siapa-siapa bila kita pun menjadi sampah. Tak usah mengeluh, sebab keluhan hanya akan menjadikan diri kita lebih rendah. Terima saja nasibmu nasimku di dunia ini. Kita sama-sama sampah. Satu-satunya yang membedakan kita hanyalah, kau sampah non-organik sedang aku sampah organik. Ya, engkau adalah sampah berharga yang bisa didaur ulang di pabrik-pabrik tempat asalmu dulu. Kau sampah plastik, kaca, atau logam yang tak berbau. Dan kelak para pemulung itu akan memilihmu sebagai "the choosen one" lalu menyerahkanmu pada tangan lain hingga wajah, wujud dan peranmu tak lagi sebagai sampah. Melainkan tuhan baru bagi manusia. Perabot rumah tangga, perangkat elektronik, mainan anak-anak adalah sebagian bentukmu saat itu. Termasuk juga karet pembungkus kemaluan itu. Aku hanya bisa berpesan padamu, tetaplah rendah hati. Sebab tuhan-tuhan baru manusia ciptakan untuk mereka hancurkan kemudian. Dan engkau pun akan kembali pada nasibmu seperti sebelumnya. menjadi sampah! Lantas apa yang membuatmu bermuram durja seperti bejana pecah?! O' aku tahu, kau pasti sedang memikirkan aku ya? Hahahaha... Harus kuakui memang cuma engkaulah yang paling mengerti aku. meskipun sebenarnya bukan cuma engkau yang memikirkanku. Sebab, semua manusia di dunia - dengan pemerintahnya - pun selalu memikirkanku. Hanya saja yang mereka pikirkan bagaimana menghapus total eksistensiku dari kehidupan mereka. Huh! Sungguh mereka bodoh karena mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Bukankah aku ada karena mereka ada?! Bukankah aku serpihan dosa dan nafsu birahi yang mereka sembunyikan. akulah si kulit apel, kol busuk, biji cabai. akulah tinja. Akulah yang menjaga perut mereka kenyang sebelum mereka membuangku di septic tank, sungai atau selokan. Lebih dari itu aku juga dedaunan busuk yang jatuh ke tanah. Dan kalau ada sedikit manusia menghargaiku, merekalah manusia berakal yang menjadikanku kompos untuk tanaman-tanaman yang menghidupi mereka. Sepertinya mereka sadar aku juga (pernah menjadi) makhluk hidup seperti mereka. Oh iya, ada satu lagi yang ingin kuceritakan kepadamua. Aku kadang tertawa sendiri setiap kali melihat mereka menutup hidung karena mencium bau busukku. hihihi....
Jogja, 20032011
sumber gambar di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H