Mari sejenak kita ingat kembali, negara manakah yang paling difavoritkan memenangkan Piala Dunia 2010 sebelum turnamen sepakbola 4 tahunan ini dimulai? Dari sekian banyak tim yang menjadi favorit juara, ternyata Brasil berada pada tingkat teratas.
Tidak hanya bertabur pemain bintang yang sarat pengalaman, Brasil dinilai memiliki mental juara. Lima kali menjuarai piala dunia menjadikan Brasil tim yang patut diwaspadai setiap lawan. Tak heran banyak penggila bola senantiasa menjagokan Brasil setiap kali turnamen sepakbola terakbar ini di gelar. Lebih dari itu, permainan indah Brasil menjadi satu alasan tim ini banyak digemari oleh penikmat sepak bola di seluruh dunia. Dalam perjalanan sejarah sepak bola, penonton senantiasa dibuat kagum oleh tarian Samba di lapangan hijau. Karakter permainan menyerang yang indah menjadi ciri sepakbola Brasil, negara yang melahirkan legenda sepakbola terbesar, Pele.
Namun apa yang terjadi pada Piala Dunia 2010? Penonton dibuat kecewa karena permainan indah itu tidak lagi terlihat di lapangan. Carlos Dunga yang menjadi arsitek timnas Brasil lebih memilih permainan praktis-pragmatis. Menjadikan kemenangan sebagai tujuan utama, meskipun harus meninggalkan karakteristik dasarnya.
Berharap memperoleh hasil kemenangan dengan permainan pragmatisnya, Brasil justru gagal di perempat final setelah dikalahkan Belanda 1-2. Harapan untuk mengangkat tropi juara telah sirna. Tapi yang lebih membuat Kaka cs. pulang dengan kepala tertunduk adalah hilangnya roh keindahan yang selama ini melekat sebagai bagian dari kultur sebak bola Brasil. Permainan indah yang lahir dari budaya seni Samba, ekspresi bawah sadar penduduk negeri penghasil kopi terbersar dunia itu untuk meluapkan rasa, utamanya kegembiraan lewat perayaan-perayaan.
Carlos Dunga banyak menuai kritik bukan hanya karena gagal membawa Brasil memenangi piala Dunia tapi lebih dari itu ia dianggap telah mencampakkan karakter hidup rakyat Brasil.
Namun Dunga tidak sendiri. Brasil bukan satu-satunya tim yang meninggalkan karakteristik yang telah dibangun oleh para pendahulunya. Argentina tidak lagi memperlihatkan permainan elegan yang diserap dari tarian Tango. Ultra defen dengan serangan balik mematikan tidak lagi dimilikiItalia. Jerman kehilangan mentalitas staying power sebagai cermin sepak bola mereka. Dan Belanda seolah lupa bahwa leluhur mereka telah mewariskan total football, yang melambungkan nama mereka.
Tentu masih ada beberapa tim yang berusaha mengejar kemenangan tanpa harus membuang karakteristik sepak bola yang jati diri mereka. Tapi taktik permainan pratis-pragmatis begitu kental mewarnai Piala Dunia 2010 kali ini. Apakah permainan pragmatis, yang menjadikan kemenangan sebagai satu-satunya tujuan, telah menjadi ciri sepak bola modern? Kalau memang demikian, sepak bola tak ada ubahnya seperti halnya politik, menghalalkan segala macam cara demi mencapai kemenangan. Kalau sudah seperti ini, Rivalitas yang tetap mempertahankan sportivitas dan nilai-nilai persahabatan yang selama ini didengungkan hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Salam
11072010
sumber gambar: Klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H