Ngilu hati sama halnya dengan sensasi sakit gigit. Ngilu, satu hal dari benak pikiran berlanjut menjalar membentuk implementasi hati dan terkoneksi dengan rangsangan pedih. Ngilu ditinggal anak mondok, ya itulah rasa sakit yang pernah saya alami.
Dua dari tiga anak saya, mereka saya ikhlaskan untuk mondok di pesantren. Tahun-tahun pertama liku-liku terjal kerinduan sebagai seorang ibu sangatlah terasa, nyesek di dada. Bahkan jika boleh menengok ke belakang, dulu ketika putri pertama saya masuk pesantren, dua minggu badan saya panas.
Demam tak kunjung reda akibat ngilu diterpa kangen. Sedikit berbeda dengan adiknya laki-laki, saya berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar melihat anak saya yang kedua itu pamitan masuk asrama pondok.
Bukan demam yang saya alami, namun lebih kepada persiapkan mental dengan berdamai pada diri sendiri. Inilah pilihanku tuk titipkan anak-anak di pondok pesantren. Putri pertama di Pondok Pesantren Putri Tebuireng Jombang Jawa Timur, lalu putra kedua di Pondok Amantul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur.
Seiring berjalannya waktu, berseliweran pertanyaan tertuju untuk saya seputar mondokkan anak di pesantren. Kalimat-kalimat tanya yang sering menghampiri saya kurang lebihnya demikian.
"Kamu kok tega, anak tamat SD disuruh mondok?"
"Kok, mau sih anaknya disuruh mondok, pengen sendiri atau dipaksa ortu?"
"Hati-hati lo, di pondok sering kena bullying kakak tingkat, gak khawatir?"
"Ah, lebih baik anakku di rumah aja, biar deket orang tua."
"Yakin masukin anak di pondok? denger-denger alumni pondok susah ya lanjut studinya di kampus negeri?"
"Biaya mondok, aman di kantong?"
Enam kalimat interogatif tersebut, pada mulanya bikin ribet siapkan jawaban. Tetapi, kini memasuki tahun ke enam mondoknya anak saya, berbagai uraian sekaligus penjelasan sudah nancap di kepala. Ratusan kalimat siap disuguhkan kepada siapa saja yang bertanya.
Kira-kira begini deskripsinya, dimulai dari pertanyaan pertama hingga terakhir. Tentunya jawaban saya ini adalah pengalaman yang pernah saya alami. Mungkin bagi Kompasianer wali santri miliki pengalaman berbeda.
1. "Kamu kok tega, anak tamat SD disuruh mondok?"
Sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang tua untuk membekali anak-anaknya meraih pendidikan yang layak. Baik dalam pendidikan formal maupun nonformal.
Kenapa saya memilih pesantren sebagai jujukkan anak-anak saya selepas sekolah dasar? Ya, karena di pondok pesantren penambahan materi atau ilmu agama jauh lebih banyak dibanding sekolah umum.