Lihat ke Halaman Asli

Muharningsih

Pengurus IGI Kab. Gresik-Pengurus KOMNASDIK KAB. Gresik-Editor Jurnal Pendidikan WAHIDIN

Insecure dan Sulit Percaya Diri: Mengapa Sering Terjadi?

Diperbarui: 2 Maret 2024   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Unsplash via KOMPAS.com

Labirin kesehatan mental tak akan terkuras pada tiap sajian pembicaraan. Meski dunia pendidikan sudah memasukkan materi P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) yang bersinggungan dengan kesehatan mental, namun nyatanya banyak siswa mengalami cedera mental. Perlu adanya peningkatan relasi dan kemitraan secara khusus antara sekolah dan orang tua. Mengapa orang tua dilibatkan?

Dikarenakan sistem pendidikan dapat tercapai sesuai perundangan yakni keterlibatan berbagai pihak yang disebut stakeholder baik internal maupun eksternal. Pemangku kepentingan internal pendidikan terdiri dari guru, murid, dan tenaga administrasi.

Sedangkan pemerintah, lembaga sosial daerah, komunitas, lembaga pelatihan, dst. masuk dalam kategori eksternal. Kemitraan yang telah terjalin diharapkan bisa mengelola data pendidikan serta terimplikasi pada dukungan atau koreksi proses pembelajaran. 

Berkenaan dengan pratinjau proses pembelajaran, tidak semua temuan di sekolah sesuai impian. Minimnya sumber daya manusia yang disebut guru belum semuanya mampu memahami siswanya secara lahir dan batin.

Penyebabnya, rasio perbandingan jumlah guru dan siswa tidak sepadan, meski guru sering dijuluki dalang. Tapi adakalanya dalang luput terhadap perkembangan wayang (siswa).

Selain itu, anggapan siswa yang sedang bermasalah dengan kesehatan mentalnya bukan semata-mata menjadi tanggung jawab guru.

Banyak dan rumitnya aktivitas jam mengajar membuat guru kurang fokus kepada kondisi mental siswa, guru lebih memilih mengejar ketuntasan materi, bahkan saat ini guru disibukkan dengan e-kinerja. Berburu sertifikat pelatihan lebih menggiurkan dibandingkan menggeluti kondisi siswa-siswanya.

Alasan logis lainnya, hanya guru BK sajalah yang patut menjadi tumpuan siswa bermasalah. Stigma-stigma polos itulah sebagai penghalang kenapa guru belum bisa hantarkan muridnya menuju kesegaran psikologis.

Sebut saja Niaz (salah satu siswa yang pernah berkeluh kesah kepada saya), remaja kelas XI itu sudah hampir satu semester absen dari sekolah. Ketidakhadiran yang berkepanjangan tentunya disertai sebab. Psikis terganggu. Sering mengalami mood swing di mana seseorang menghadapi perubahan suasana hati (mood), terjadi dengan cepat dan drastis.

Kondisi ini biasanya ditandai dengan perubahan emosi yang merupakan reaksi tubuh terhadap lingkungan atau suatu situasi. Mood yang berubah-ubah sangatlah wajar hingga kondisi tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline