Lihat ke Halaman Asli

Kibas

Pemuda desa.

Nganggur dan Sendiri adalah Teman Sejati

Diperbarui: 19 Juli 2021   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa hari terakhir, aku tak mengadakan ngopi. Hanya merokok. Sebelumnya aku rutin menyeduh kopi yang mesra bersama rokok di siang dan malam hari. Ada dua gelas yang harus kucumbu setiap harinya untuk menghembuskan sepi. Tapi akhir-akhir ini keadaan tak mendukungku menubruk sunyi, entah apa yang terjadi. Kebiasaan itu semakin lama semakin membawaku pada hal-hal menyenangkan. Aku bahkan ingin libur, sudah seperti pekerjaan saja. Biar aku merasa sedih tanpa kopi sejenak.

Hari-hari tanpa ngopi ini mengingatkanku kepada cerita tentang kehidupan yang fana. Ada yang menikmati hidup dengan beribadah karena percaya akan meraih kebahagiaan absolut setelah kematian, ada juga yang menikmati hidup hanya dengan klimbrak-klimbruk. Manusia memiliki beragam cara untuk menanam kebahagiaan, lalu memanennya di kemudian hari. Meski tak jarang paceklik.

Dini hari aku menulis ini, sembari bertanya pada rembulan, mengapa tak ada kehidupan abadi yang menimpa manusia? atau, kebahagiaan abadi, mungkin? Bisa jadi kesedihan abadi? Sempat aku berpikir bahwa manusia belum siap untuk menerima segala bentuk keabadian. Semua pasti berubah, tak terkecuali penderitaan, kesedihan, kesengsaraan, kesenjangan dan berbagai hal buruk. Semua akan membaik, setidaknya untuk mengurangi air matamu yang banjir akibat perih.

Dulu aku berpikir; jika tak ada kopi, maka dunia akan hancur. Bisa jadi itu benar. Ngopi membuatku merasa damai. Mungkin mereka yang hobi berperang angkat senjata atau mereka yang sibuk dengan uang dan kursi, kopi yang mereka minum terlalu manis, bisa jadi. Hanya ada sedikit waktu untuk mereka menubruk kopi senjakala. Mereka hanya patuh pada perintah atas nama jabatan.

Semua itu membuatku ngelantur. Entah sampai kapan aku bisa hidup tanpa bercumbu dengan cangkir. Aku sadar memisahkan rokok dan kopi adalah kurang ajar -- setidaknya untuk diriku sendiri. Mereka berdua amat sangat bahagia sepertiku pada waktu tertentu, lalu bersedih. Apalah arti kebahagiaan jika tak ada kesedihan.

Hari menjelang pagi. Benar saja, aku bertahan semalam suntuk tanpa kopi, hanya rokok. Ternyata ini bisa menjadi hal luar biasa yang bisa membuatku tak lagi menaruh harapan. Aku tak berharap lagi bahwa kopi akan membuatku bahagia, karena itu menjadi tanggung jawabku sendiri. Begitu juga dengan panggilanmu yang mengetuk namaku untuk berbagi kesendirian. Aku tak berharap. Lagipula, harapan yang sirna kerap menimbulkan kebisingan di kepala.

Untuk menutup tulisan ini, izinkan aku menyampaikan sebuah kutipan dari Marcus Aurelius, filsuf stoikisme yang juga seorang kaisar Romawi pada tahun 161 M hingga kematiannya 180 M; "awali hari dengan mengatakan pada diri sendiri: hari ini saya akan bertemu dengan gangguan, tidak tahu berterima kasih, kurang ajar, tidak setia, niat buruk, dan keegoisan -- semuanya karena ketidaktahuan pelaku tentang apa yang baik dari yang jahat." Kadang berpikir negatif untuk sesuatu yang positif itu diperlukan, itu caraku untuk mereduksi rasa sakit.

Salam, dari kibas.
Malang, Juli 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline