Lihat ke Halaman Asli

Muharika Adi Wiraputra

Penggiat Sejarah

Pramoedya Ananta Toer: Jejak Seabad Sang Sastrawan Perlawanan

Diperbarui: 2 Februari 2025   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pramoedya Ananta Toer (Sumber gambar: Dokumen Pram) 

Mengulas sosok Pramoedya Ananta Toer memiliki kesan tersendiri buku-bukunya menjadi referensi ketika masa kuliah dulu. Banyak karyanya yang mengupas peristiwa sejarah dan menjadi sumber rujukan karena ceritanya yang menarik dan mendalam.

Tahun ini tepat merayakan 100 tahun kelahiran seorang sastrawan sejati. Untuk menghidupkan kembali dengan karya-karyanya, ulasan ini sedikit mengupas perjalanan seorang Pramoedya Ananta Toer beserta resensi buku-buku favorit karya beliau yang pernah saya baca.

Kisah hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram, lahir di Blora, Hindia Belanda, pada 6 Februari 1925. Ia merupakan anak tertua dari M. Toer, seorang tokoh nasionalis yang menjabat sebagai direktur-kepala sekolah "Instituut Boedi Oetomo" (IBO) di Blora, yang kini menjadi SMP 5 Blora. Ayahnya memiliki pengaruh besar dalam bidang politik dan sosial, menggantikan Dr. Soetomo setelah pemindahannya ke Surabaya.

Perjalanan pendidikan Pram tidaklah mulus. Ia menghabiskan sepuluh tahun untuk menyelesaikan sekolah dasar selama tujuh tahun di IBO dan lulus pada tahun 1939. Namun, ketika ingin melanjutkan ke MULO, ayahnya menolak dan justru memerintahkannya mengulang tahun terakhir sekolah dasar. Tak patah semangat, Pram bersama ibunya yang berdagang beras menabung hingga akhirnya pada tahun 1940, ia berangkat ke Surabaya untuk meneruskan sekolah.

Di Surabaya, ia masuk Radiovakschool, sebuah sekolah kejuruan radio, dan berhasil lulus pada akhir tahun 1941 dengan menyelesaikan tiga kelas dalam waktu hanya enam bulan per kelas. Segera setelahnya, ia direkrut menjadi bagian radiotelegraf di Stadswacht (Pertahanan Sipil Kota). Namun, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda, Pram memilih kembali ke Blora.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pram harus menjaga keluarganya bersama adiknya selama empat bulan pertama pendudukan. Setelah ibunya meninggal, mereka berdua meninggalkan rumah keluarga dan menetap di Jakarta. Di sana, Pram melanjutkan studi hingga kelas dua Taman Dewasa sembari bekerja di kantor berita Jepang, "Domei". 

Sayangnya, ketika hendak naik ke kelas tiga, sekolah tersebut ditutup oleh pihak Jepang. Sebagai gantinya, kantor tempatnya bekerja membiayai pelatihannya sebagai stenografer di Chuo Sangi-in (sekarang gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta). Pada tahun 1945, ia juga sempat mengikuti perkuliahan di Universitas Islam, yang kini menjadi gedung Imigrasi.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Pram sedang berada di Jawa Timur. Setelah mendengar kabar bersejarah tersebut, ia sempat singgah ke Blora sebelum kembali ke Jakarta. Di ibu kota, ia bergabung dengan organisasi paramiliter pemuda dan kemudian masuk ke dalam satuan tentara Divisi Siliwangi Resimen 6 yang beroperasi di Jakarta Timur. 

Dalam masa ini, ia mencapai pangkat Letnan Dua dan memimpin satu seksi yang beranggotakan 60 orang. Namun, ketika pemerintah Republik Indonesia melaksanakan program rasionalisasi militer, ia memilih untuk mengundurkan diri.

Setelah meninggalkan dunia militer, Pram aktif dalam dunia sastra dan kebudayaan. Pada tahun 1958, ia diangkat sebagai anggota Sidang Pleno Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) melalui keputusan Kongres Nasional Pertama di Solo. Setahun kemudian, ia juga menjadi anggota Eksekutif Komite Perdamaian Indonesia setelah keputusan Konferensi Nasional di Bandung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline