Lihat ke Halaman Asli

Muharika Adi Wiraputra

Penggiat Sejarah

Tamansiswa: Pengajaran Humanis dari Ki Hajar Dewantara

Diperbarui: 13 Januari 2025   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta (2/5/2018). (Kompas/Ferganata Indra Riatmoko) 

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, nama Tamansiswa adalah sebuah jejak yang tak lekang oleh waktu.

Didirikan pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara, Tamansiswa bukan sekadar lembaga pendidikan; ia adalah perwujudan dari mimpi besar: menciptakan generasi bangsa yang merdeka, baik secara pikiran, jiwa, maupun karakter.

Di tengah penjajahan yang mencekik kebebasan, Taman Siswa hadir sebagai oase yang membebaskan manusia Indonesia dari belenggu sistem pendidikan kolonial yang hanya melayani segelintir elit.

Pada masa penjajahan, sistem pendidikan kolonial dikenal sebagai materialistik, individualistik, dan intelektualistik. Pendidikan kala itu tidak dirancang untuk membangun karakter manusia seutuhnya, melainkan lebih bertujuan mendukung kepentingan politik dan ekonomi penjajah.

Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional, menentang keras pendekatan ini. Baginya, pendidikan harus humanis dan populis, mengedepankan prinsip “memayu hayuning bawana” menjaga harmoni dan kedamaian dunia.

Ki Hajar Dewantara, dengan penuh kelembutan dan kejernihan pandangan, memandang pendidikan sebagai alat pembebasan. Ia percaya bahwa setiap anak adalah pribadi yang unik, yang tumbuh sesuai kodratnya masing-masing.

Prinsip yang ia usung dalam sistem pengajaran Tamansiswa pun sangat humanis: "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani." 

Metode pengajaran Tamansiswa mengutamakan pendekatan yang selaras dengan kehidupan sehari-hari. Belajar tidak hanya tentang hafalan atau sekadar mengejar nilai akademik, tetapi juga memahami kehidupan, budaya, dan lingkungan.

Dalam suasana yang hangat dan egaliter, murid diajak untuk berdialog, berpikir kritis, dan mengenali potensi diri mereka. Tidak ada jarak yang kaku antara guru dan murid; keduanya saling menghormati sebagai sesama manusia yang belajar.

Nilai-nilai ini menjadi cerminan dari semangat kebangsaan yang melekat dalam pendidikan Tamansiswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline