"Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliliti." (QS. Al Hujurat/49:13)
"Para hadirin, mari kita saksikan penampilan sendratari kolosal berjudul 'Sang Imam' persembahan dari putra-putri Nagari!". Suara Master of Ceremony (MC) disambut gemuruh tepuk tangan peserta Pembukaan MTQ VI KORPRI tadi malam, Senin, 08 November 2022. Maklumat tersebut seakan memanggil hati Penulis untuk maju menyaksikan lebih dekat dari barisan depan para peserta MTQ, dari barisan Kementerian/Lembaga Negara. Maju dengan segala rasa di hati, syukur, haru, kagum sekaligus terkenang dengan sosok 'Sang Imam' tersebut, Tuanku Imam Bonjol, dengan sebagian kisah dan legacy yang Penulis dengar dan saksikan.
Termasuk negeri tempat 'Sang Imam' terakhir hidup dan bersemayam atau dikuburkan, yakni Minahasa dan Manado. Kedua kota itu sendiri, termasuk salah satu negeri yang paling berkesan bagi Penulis, terlebih dalam belajar dan giat moderasi beragama.
Alhamdulillah, pelajaran moderasi beragama Penulis kian lengkap ketika tinggal dan menetap di negeri Al Mulk, negeri 'Para Sultan', bumi Moloku Kie Raha (Provinsi Maluku Utara/Malut). Bahkan hingga Penulis menjejakkan kaki kembali di bumi Minangkabau ini, pada perhelatan literasi Qur'ani ini, MTQ KORPRI. Penulis perlu menegaskan bahwa tulisan ini tidak wicara tentang sejarah kehidupan Tuanku Imam Bonjol, 'Sang Imam'.
'Sang Imam' dan Moderasi Beragama: Siapa dan Apa
Sependek pengetahuan Penulis, Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu Pahlawan Nasional dari Minangkabau, hidup berdakwah agama Islam sekaligus melawan penjajahan kolonial. Berdasarkan sejarah yang Penulis baca dan pelajari, Tuanku Imam Bonjol sosok utama dalam Perang Paderi melawan masyarakat adat yang dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan terhadap masyarakat adat Paderi di sini bukanlah karena dorongan kebencian kepada masyarakat atau tokoh adat, tapi lebih sebagai dorongan dakwah agama Islam yang mencoba meluruskan nilai-nilai adat sesuai dengan ajaran Islam.
Seperti disebutkan pada alur cerita pentas kolosal 'Sang Imam', masyarakat adat Paderi mengalami kekalahan dan meminta bantuan kolonial Belanda, sehingga Tuanku Imam Bonjol mengalami kekalahan dan ditangkap serta dibuang ke luar Nagari Mingkabau. Namun, alur cerita tadi malam tidak sampai pada kehidupan paska pembuangan Tuanku Imam Bonjol dan prajuritnya, yakni di bumi Celebes (Sulawesi), tepatnya kampung Tondano[1].
Dalam sejarah disebutkan, bahwa Tuanku Imam Bonjol dan prajurit pengikutnya ketika hidup di pembuangan tersebut, menjalin hubungan sosial secara baik dengan tokoh setempat dan masyarakat Minahasa yang mayoritas beragama Kristen. Dari proses sosialisasi tersebut, terjadilah amalgamasi/perkawinan campuran antara pengikut Tuanku Imam Bonjol, yang semuanya laki-laki dengan para perempuan Minahasa atas seizin tokoh adat setempat.
Pernikahan tersebut melahirkan suatu akulturasi budaya, yakni kampung 'Jawa Tondano' atau Jaton [2]. Sesuai adat patrilineal [3] masyarakat Minahasa, jika perempuan menikah dengan seorang lelaki, maka ia akan mengikuti suaminya termasuk dalam beragama dan pemberian nama bagi anak-anaknya, yakni mengikut nama fam/ marga suami [4].
Selanjutnya, wicara moderasi beragama, sepengetahuan Penulis merupakan suatu praktik perilaku baik (best practise) masyarakat beragama di kehidupan sosial (bermasyarakat, berabangsa dan bernegara) secara moderat, mengakui perbedaan dan kemajemukan, anti kekerasan serta menghormati kearifan tradisional/kebisaaan masyarakat setempat (local wisdom).