EKOTEOLOGI MOLOKU KIE RAHA :
ETIKA LINGKUNGAN EMPAT KESULTANAN MALUKU UTARA*
Potensi Ekoteologi Moloku Kie Raha
Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia yang lahir di era Reformasi tahun 1999. Malut juga dikenal dengan nama Moloku Kie Raha (MKR) sebagai identitas sosial budaya masyarakat. Keterangan lengkap mengenai konsep MKR sebenarnya muncul pertama kali pada buku Fr.Valentijn yang menggambarkan empat kerajaan dalam MKR sebagai satu kesatuan yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan[1].
Dalam tradisi lisan masyarakat Maluku maupun beberapa sumber Eropa, penyebutan MKR hanya merujuk pada empat wilayah tertentu, yaitu Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang. Moti kemudian hijrah ke Jailolo, dan Makeang ke Bacan. Pembagian wilayah ini terjadi mungkin saja untuk meredam "konflik terbuka" yang sering terjadi antara wilayah-wilayah tersebut. Sehingga muncul persekutuan "empat pulau" atau disebut "kie raha"[2].
Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan[3]. Dari konsep ekoteologi tersebut, muncul sintensa spirit baru pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya, yakni motif devosi/penghambaan/ibadah, selain motif sosial, ekonomi dan ekologi[4] (Mahmud, 2015). Sebagai sebuah pendekatan, selain mendasarkan tindakan pada empat motif tersebut (devosi, sosial, ekonomi dan ekologi), konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial[5].
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, maka Malut mempunyai tiga potensi ekoteologi. Pertama, spiritualitas. Potensi ini berasal dari nilai-nilai spiritual dari ajaran, keyakinan dan 'kearifan lokal'[6] masyarakat Malut termasuk yang berasal dari tradisi/budaya empat kesultanan tersebut dan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Kedua, biodiversitas. Potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati baik di darat maupun lautan, tersimpan di 'Negeri Seribu DAS' karena Malut berkarakter DAS Kepulauan yakni terdiri dari 3.568 DAS[7] dengan luas 3.148.431,35 Ha. DAS Kepulauan karena dibentuk oleh beberapa DAS pulau dimana komponen-komponen lingkungannya seperti iklim, air, tanah, topografi, batuan, flora/fauna, penggunaan lahan, dan manusia membentuk "ekosistem alami" DAS masing-masing pulau yang spesifik pula, baik pulau besar maupun pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Potensi ketiga adalah pluralitas. Potensi kemajemukan sosial (pluralitas) terbangun oleh masyarakat adat/lokal maupun masyarakat pendatang dari berbagai suku Nusantara. Menurut penulis, klasifikasi masyarakat hukum adat di Malut ada 2 (dua), yakni masyarakat adat kesultanan dan masyarakat adat bukan kesultanan[8]. Masyarakat adat kesultanan adalah masyarakat adat yang banyak dipengaruhi oleh budaya (dan ajaran agama) Islam, meliputi empat kesultanan di Malut, yakni Bacan, Jailolo, Tidore, dan Ternate[9].
Ketiga potensi tersebut (nilai-nilai spiritualitas, biodiversitas dan pluralitas sosial) gayut satu sama lain sehingga menimbulkan dinamika tersendiri bagi masyarakat Malut. Tragedi konflik horizontal pada awal Reformasi tak luput dari kelindan tiga faktor/potensi di atas. Menurut Thamrin A. Tomagola, konflik di Maluku -khususnya Malut yakni di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya- merupakan kekerasan komunal yang dipicu oleh persoalan perbedaan identitas sosial, perebutan akses sumber daya alam/SDA dan kekuasaan/politik[10].
Relasi Tauhid : Akar Etika Lingkungan Empat Kesultanan