Padahal, sejarah bergabungnya tanah Papua ke pangkuan Pertiwi (baca: NKRI) itu atas dasar legitimasi dari Maluku (Kesultanan Tidore). Tanpa Maluku, Papua tidak eksis bersama NKRI. Bung Karno sekurang-kurangnya butuh dua kali mengunjungi Maluku untuk mendapatkan Papua. Jauh sebelum operasi Mandala yang dipimpin oleh Letjen Suharto (eks Presiden Indonesia yang juga mertua Prabowo) ketika itu. Absennya nama orang Maluku dari kabinet "Merah Putih" Prabowo pertanda bahwa Prabowo sengaja mengabaikan hak politik kebangsaan orang Maluku. Seolah Indonesia hanya sampai di tanah Sulawesi lalu loncat langsung ke Papua!
Maluku itu titik simpul kebangkitan Timur Nusantara. Jaraknya tiga-empat abad sebelum VOC pindah ke Batavia. Bagaimana bisa Prabowo (sengaja) lupakan Maluku? Baca di buku sejarah manapun, eksistensi Maluku utk NKRI tersebut semua tercatat. Bahkan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kerap diperingati sebagai Hari Soempah Pemoeda itu, dalam struktur kepanitiaanya terdapat 2 orang putera asli Maluku: 1. AM. Sangadji (Jago Tua) yang sekaligus adalah salah seorang guru Bung Karno, teman karibnya HOS. Tjokroaminoto; dan 2. dr. Johanis Leimena (Om Jo), kawan seperjuangan Bung Karno.
Maluku, Sebuah Eksistensi yang Melampaui Statistik Pilpres
Jika yang dipersoalkan secara serius tentang representasi putera-puteri Maluku pada komposisi Kabinet Merah Putih-nya Prabowo-Gibran itu ialah perolehan statistik pada perhelatan Pilpres 2024 kemarin, maka alasan tersebut justru berbanding terbalik dengan spirit patriotik dan pluralistik Prabowo sendiri yang senantiasa menyeru tentang urgensi persatuan dan kesatuan di satu sisi, dan keberagaman/kemajemukan serta keadilan di sisi yang lain. Oleh karenanya, persoalan Maluku dengan posisi strategisnya yang kerap diabaikan oleh pemerintah pusat dari rezim ke rezim, setidaknya pasca era reformasi kurang lebih sudah tiga dekade ini, juga mestinya menjadi perhatian Prabowo selaku Presiden RI yang baru dilantik kemarin melalui kebijakannya yang akomodatif.
Sayangnya, sikap tersebut belum sama sekali tercermin ketika ia mengumumkan dengan resmi nama-nama menteri di kabinetnya kemarin. Maluku pada akhirnya hanya dilihat sebagai semacam "peta buta" dengan menggunakan "kacamata kuda" yang terlampau Jakarta oriented. Kondisi itu tidak lebih dari menempatkan Maluku dengan segala hal yang dikandungnya (Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Manusia) saat ini sekadar sebagai komoditas bagi pertaruhan politik-ekonomi di Jakarta. Atau dengan lain perkataan, untuk melanggengkan status-quo kekuasaan yang hegemonik oleh pusat di Jakarta.
Haruskah 'Merah Putih' Dipulangkan ke Jakarta?
Mencermati kondisi Maluku yang semakin tak menentu seperti ini di mata elit kekuasaan di pusat, justru menjadi pemicu yang mungkin saja tak bisa terkendalikan mengenai upaya-upaya disintegrasi lantaran ketidakpuasan atas ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang Maluku. Bukankah kondisi ini juga yang dialami oleh Aceh dan Papua dewasa ini? Sebab, jangan sampai lantaran macetnya konsolidasi kebangsaan dengan tidak tercapainya konsensus di level nasional untuk mengakomodir orang-orang Maluku yang, kurang lebih sudah tiga dekade, selalu absen dalam komposisi kabinet pemerintahan negara ini, menjadi alasan mendasar untuk memulangkan 'Merah Putih' kembali ke Jakarta.
Tentu kondisi demikian bukanlan merupakan sesuatu yang dikehendaki bersama. Kontrasnya, kabinet gemoy a la Prabowo-Gibran ini malah tidak se-gemoy visi dan konsolidasi kebangsaannya hingga (sengaja) mengabaikan representasi menteri dari Maluku. Padahal, soal cinta yang tulus, pikiran, perjuangan serta pengorbanan orang-orang Maluku bagi negeri gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo atau negeri yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur sebagaimana yang disentil oleh Prabowo sendiri dalam pidato kenegaraan pada perhelatan pelantikannya kemarin adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya.
So, jangan ajarkan tentang cinta tanah air kepada orang-orang Maluku! Sejak mendiang Abdullah Sangaji (Kapiten Jongker), Sultan Baabullah, Boki Nukila, Sultan Nuku, Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) hingga AM. Sangadji, Johanis Leimena, dan seterusnya, denyut nadi pembelaan terhadap eksistensi negeri ini hingga detik ini masih tetap sama. Orang-orang Maluku telah mati berkali-kali lalu akan terus hidup berkali-kali untuk negeri ini, Pak Jendral!
_______
Penulis : Muhar Syahdi Difinubun (Ketua Bidang OKK DPP AMKEI)