Lihat ke Halaman Asli

Tips Melawan "WarGad"!

Diperbarui: 24 November 2015   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jurnalistik (journalistic) secara harfiah artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “journal” yang artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Istilah jurnalistik erat kaitanya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau alat media massa dalam memproduk berbagai karya tulis wartawan.

Karenanya, belajar ilmu jurnalistik dan mengetahui perkembangannya pada saat ini termasuk bagian dari knowledge bagi bapak dan ibu guru dalam mendidik murid-muridnya. Manfaatnya jelas, wawasan dan kemampuan kian berkembang. 

Apa itu dunia kewartawanan, fungsi pers, dan apa manfaatnya (media massa) bagi masyarakat, bangsa, dan negara. 

Banyak teman menceritakan keluh-kesahnya menghadapi banyaknya wartawan gadungan (wargad) maupun LSM yang datang ke lingkungan tempat kerjanya. Ujung-ujungnya minta duit. Ada yang terang-terangan dan kasar (eksplisit), ada pula yang secara halus dengan alasan uang transportasi, memperbaiki sepeda motor yang rusak dan sebagainya.

Sebenarnya, sudah banyak pihak yang resah dengan maraknya wargad, organisasi profesi kewartawanan, seperti PWI, AJI, IJTI yang saya tahu saat ini pusing tujuh keliling memikirkan banyaknya wargad merusak citra pers di tengah masyarakat. Mereka pada umumnya memeras narasumber dengan berbagai cara, seperti menggertak dan mengancam dengan berlaku seperti preman atau bak polisi dan jaksa mengintrogasi penjahat/terdakwa.

Pernah satu ketika di Medan, Sumatera Utara, saya mengikuti diskusi dengan Dewan Pers dan di sana terungkap, bagaimana dampak keberadaan wargad dan koran-koran negatif (kuning) yang banyak beredar di tengah masyarakat saat ini. Sangat meresahkan dan tidak mendidik. Itu ditandai dengan banyaknya pengaduan dan keluhan dari masyarakat, terutama menyangkut penyalahgunaan profesi wartawan atau etika pers.

Saya mengutip pernyataan Ketua PWI Sumut M Syahril saat diskusi itu bahwa sejak pers Indonesia bebas dari belenggu Orde Baru, jumlah penerbitan media massa tak bisa dihitung lagi saat ini. Apalagi untuk mengetahui jumlah wartawan sehingga untuk menyebut jumlah wartawan sepertinya mustahil. ’’Hanya Tuhan saja yang tahu’’ karena siapa saja kini bisa membuat koran, bisa mengaku dirinya pemimpin redaksi, redaktur, wartawan dll. Namun mereka tidak punya kompetensi di bidang kewartawanan.

Kalau saya katakan ada100 ribu wartawan yang gentayangan, maka tidak sulit untuk menyebut 70 persen di antaranya adalah wartawan abal-abal alias wargad. Tidak punya koran tapi punya kartu wartawan. Apa kerjanya, ya mencari-cari kesalahan pejabat dan tokoh masyarakat untuk jalan memeras.

Lantas, apakah yang 30 persen lagi sudah bisa disebut wartawan profesional? Jawab saya: Tidak juga! Yang profesional benar jumlahnya hanya sedikit. Tak sampai 10 persen. Sisanya, walaupun mereka sudah lulus uji kompetensi yang disyaratkan Dewan Pers belum tentu semua memegang perinsip idealisme dan kejujuran karena tolok ukur persyaratan tes uji kompetensi yang diterapkan Dewan Pers saat ini masih sangat rendah.

Dan Tidak sulit mengelompokkan media massa positif dan negatif. Acuannya, lihat konten pemberitaannya, apakah menjalankan fungsi pers, memiliki agenda setting, menampung aspirasi masyarakat (rakyat). Hal itu dikelompokkan dua itu saja.

1. Media positif dalam arti menjalankan fungsi pers sesuai UU Pers No 40/1999. Informasi-informasinya mencerdaskan dan mendidik masyarakat, mengkritisi pemerintahan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline