Keberadaan lembaga komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam system kenegaraan Indonesia menampakkan sebuah anomali. Di satu sisi, sistem kekuasaan yang dibentuk telah melakukan praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tapi di sisi lain, keberadaan KPK sebagai instrumen yang berupaya mencegah dan membrantas penyalahgunaan kekuasaan yang sedang di arahkan menuju jurang kehancuran.
Anomali ini mucul ketika mahkamah konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai hak angket terhadap KPK.
Dalam pertimbangan hukumnya, mahkamah konstitusi ini menyatakan bahwa fungsi KPK dalam hal penyidikan, penyelidikan dan penuntutan yang sifatnya sangat jelas mengindikasikan keberadaannya sebagai lembaga yang berada dibawah ranah eksekutif sebagaimana halnya kepolisian dan kejaksaan.
Putusan MK yang di anomali kemudian mengilhami pembentukan undang-undang yang menghancurkan lembaga KPK. Dengan begitu , sangat sulit sekali jika berharap pengujian terhadap UU KPK akan menghasilkan sesuatu yang memperkuat lembaga KPK.
Dalam putusannya, mahkamah konstitusi secara umum menjelaskan bahwa informasi penghentian perkara disampakan kepada dewan pengawas dalam jangka tertentu yaitu (14 hari) sejak penghentian yang sudah ditetapkan.
Namun dalam putusan nomor 70/PUU-XVII/2019, MK secara tiba-tiba menggunakan dasar "kepastian hukum" sebagai alasan untuk memberikan kewenangan penghentian perkara kepada KPK.
Putusan MK yang mengenai persoalan pengujian UU KPK sesungguhnya telah memperlemah lembaga KPK. Perubahan terhadap UU KPK ini selalu kandas dalam hal politik legislasi nasional karena MK menempatkan KPK sebagai lembaga yang memiliki constitusional importance dengan segala kelebihannya, disitulah KPK akhirnya dipaksa bertekuk lutut di hadapan politik hukum yang dimana tak lagi ramah terhadap pemberantasan tindak korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H