Lihat ke Halaman Asli

Review Buku Kebudayaan Bugis oleh Prof.Dr.H.Abu Hamid Sulawesi Selatan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut pandangan saya tentang artikel/buku yang berjudul kebudayaan suku bugis, sebelumnya kebudayaan Sulewesi Selatan diwarnai oleh tiga suku bangsa, yaitu suku Bugis, Makassar, Toraja. Suku yang terbesar jumlahnya adalah suku Bugis, yang di mana suku bugis ini menempati sebagian besar jazirah yang ada di Sulewesi Selatan. Kebudayaan suku-suku bangsa itu terdapat persamaan wujud, bentuk dan pola. Namun, perbedaan itu tidak dapat dipungkiri.

Saya sangat tertarik membaca buku/artikel ini karena selain buku tersebut menarik perhatian para pembaca karena di dalam buku tersebut menjelaskan kehidupan sehari – hari masyarakat khusunya pada masyarakat bugis terutama dalam melakukan aktifitas kesehariannya. Masyarakat yang beretnis bugis merupakan penduduk mayoritas yang ada di Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Pinrang, Barru, Pangkaje’ne kepulauan dan Maros. Tetapi, sebagian mereka tersebar di kabupaten Polewali, Mamasa, Enrekang dan Luwu, kabupaten Pangkaje’ne kepulauan dan Maros merupakan wilayah transisi budaya Makassar dan Bugis. Penduduk di daerah ini disamping menggunakan bahasa Makassar juga memakai bahasa Bugis dalam keseharian mereka.

Di dalam buku tersebut juga menjelaskan tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan dan kekerabatan, sistem religi dan kepercayaan serta kesenian. Dari tujuh unsur kebudayaan yang dijelaskan di dalam buku tersebut diketahui melalui hasil penelitian di mana penelitian ini dilakukan di masyarakat bugis pada umumnnya lalu digambarkan dan dijelaskan di dalam buku.

Pertama, dijelaskan sistem mata pencaharian hidup orang bugis pada umumnya adalah petani, ada juga sebagai pedagang. Penduduk yang bertempat tinggal di pinggir pantai, mayoritas menempuh hidup sebagai nelayan. Dalam melihat sistem mata pencaharian hidup di Kabupaten Pinrang yang menjadi daerah penelitian, pada dasarnya pekerjaan pokok yang dilakukan masyarakat bugis di Pinrang sama seperti mata pencaharian hidup orang bugis pada umunya yaitu sebagai petani dan nelayan, tetapi ada juga sebagian masayarakat di sana menjadi pedagang.

Kedua, sistem teknologialat-alat yang digunakan oleh penduduk khususnya pada penduduk Kabupaten Pinrang yang menjadi daerah penelitian, nampaknya belum mengalami perubahan, masih menggunakan alat-alat tradisonal dan cara pengolahan pun masih tradisional. Tetapi saat ini yang saya ketahui di sana sudah ada alat-alat canggih seperti dalam bertani dulunya ketika tanahnya mau diratakan harus menggunakan kerbau tapi sekarang sebagian masyarakat bugis sudah ada yang menggunakan traktor. Selain itu, ada juga sistem teknologi dalam pembuatan rumah orang bugis. Rumah tradisonal bagi orang bugis disebut bola dan terdiri dari tiga tingkatan ruang, yaitu tingkat atas disebut rakkeang (loteng), tingkat kedua disebut ale bola ale sao (badan rumah), dan tingkat ketiga disebut awa sao (badan rumah). Latar belakang pandangan hidup mengenai rumah, letak dan arah rumah,komponen bentuk rumah dan tipe-tipe rumah tradisonal.

Ketiga, sistem pengetahuan orang bugis, diantaranya : pengetahuan tentang alam flora dan fauna, pengetahuan tentang ramuan obat, pengetahuan kedutan pada bagian badan, pengetahuan tentang appesissikeng (sifat dan waktu) manusia, dan pengetahuan tentang hari baik dan buruk. Dari pengetahuan di atas, mempunyai perbedaan pengetahuan dari dimana orang bugis itu berada, terutama pada alam flora dan fauna, sedangkan tentang pengetahuan ramuan obat yang berbeda adalah jenis tumbuh-tumbuhan dan namanya tumbuhan tersebut. Dari dua macam sistem pengetahuan yang berbeda tiap pemukiman orang bugis, nampak adanya pengaruh lingkungan alam terhadap pembentuk pengetahuan mereka. Adapun pengetahuan tentang hari baik dan buruk, kedutan-kedutan pada bagian badan dan pengetahuan appesissikeng terdapat kesamaan yang umum dimengerti.

Keempat, sistem religi dan kepercayaan. Religi atau agama yang dianut masyarakat bugis pada umumnya mayoritas beragama islam, tetapi masih mengenal dengan adanya upacara-upacara yang mencari hubungan dengan dunia gaib menurut sistem kepercayaan yang mereka anut. Sistim kepercayaan yang dibuat oleh manusia hasil bayangan-bayangannya tentang alam, alam gaib dan gambaran pikirannya tentang hidup dan maut. Di daerah-daerah yang tingkat kecerdasan penduduk bugis masih rendah terutama mengenai kecerdasannya mengenai agama islam, upacara yang mengkonsepsikan kepercayaan lama, masih tetap kelihatan. Namun yang melakukan upacara itu terdiri dari jumlah yang kecil. Orang Bugis, Makassar dan Mandar termasuk suku bangsa yang setia kepada Islam, namun di dalam pelaksanaan upacara-upacara tradisonal masih nampak cara-cara yang berkesambungan dari dahulu, tetapi diberi semangat dari tema-tema islam. Upacara-upacara peninggalan lama, agaknya tetap mempertahankan diri dalam upacara baur hidup (life cycle), yakni upacara masa peralihan (krisis reites), dapat diambil bentuk seperti upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara kematian.

Kelima, sistem kemasyarakatan dan kekerabatan. Kelompok kemasyarakatan orang bugis pada umumnya sebagai warisan dari zaman ini masih tetap berjalan, walaupun ikatan-ikatannya sudah tidak ketat lagi seperti dulu. Manusia yang memiliki naluri sosialnya selalu berada dalam keadaan brhubungan dengan masusia lain. Itulah yang melahirkan kegiatan sosial dan karena itu kegiatan sosial membentuk kelompok kemasyarakatan yang bertujuan untuk memnuhi kebutuhannya. Kelompok adalah kumpulan individu yang hidup saling berhubungan antara yang satu dengan lainnya secara luas, tetap dan teratur. Hubungan itu diatur oleh suatu sistem yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ditaati bersama diantaranya hubungan kekerabatan yang terdiri dari sianang, sompung lolo, sirowe-rowekkeng dan siwija. Kemudian lapisan kemasyarakatn yang terdiri dari tiga stratifikasi sosial yaitu arung, maradeka dan ata. Lalu yang ketiga sistem kekerabatan, dimana sistem kekerabatan dalam masyarakat Pinrang dan masyarakat bugisumumnya menganut prinsip bilateral atau parental. Keempat istilah kekerabatan orang bugis dan yang terakhir sistem perkawinan.

Ketujuh, kesenian orang bugis pada umumnya salah satunya lagu rakyat yang biasanya ditampilkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan lainnya seperti ketika ada upacara perkawinan, biasanya menyanyikan sebuah lagu untuk acara pelengkap saja dan kemeriahan upacara tersebut. Selain itu, dapat dilihat dalam bentuk atraksinya seperti dari makananya dan tradisi dari upacara-upacara tersebut.

Inilah tujuh unsur kebudayaan yang ada di dalam masyarakat bugis yang telah dijelaskan di dalam buku/artikel tersebut sangat lengkap dan dengan melalui buku/artikel ini menarik perhatian orang khususnya bagi para pembaca dapat menambah wawasan pengetahuan dan mengetahui lebih dalam lagi tentangkebudayaan bugis. Kekuatan dari buku ini secara keseluruhan menggambarkan peristiwa atau kejadian sebenarnya yang masih dipercaya oleh masyarakat bugis pada umumnya khususnya penelitian ini dilakukan di daerah kabupaten pinrang.

Meskipun tujuh unsur kebudayaan telah dijelaskan secara lengkap di buku tersebut, hanya saja buku ini tidak menjelaskan nilai-nilai yang ada di kebudayaan bugis, dimananilai-nilai kebudayaan bugis itu sangat penting untuk dipelajari dan dimengerti oleh mahasiswa. Nilai-nilai yang ada di kebudayaan bugis merupakan sebagai warisan yang telah berlangsung dalam kurung waktu yang begitu lama dan nilai ini terkadang masih ditemukan dalam kehidupan modern saat ini ditengah masyarakat bugis yang juga berubah mengikuti alur-alur perubahan zaman, nilai-nilai yang ada pada budaya Bugis seperti nilai kejujuran, kecendikiaan, kepatuhan, keteguhan, dan nilai usaha. Selain itu, masyarakat bugis masih mengenal dengan adanya siri’, di mana sisri’ ini memiliki nilai yang terkandung di dalam siri’ yaitu nilai malu dan nilai harga diri.

Pesan saya buat para pembaca khusunya mahasiswa yang ingin menambah lagi pengetahuannya tentang kebudayaan bugis, perbanyaklah membaca literatur-literatur atau referensi dari buku mengenai kebudayaan yang ada di Indonesia terutama pada kebudayaan Bugis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline