Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Zabbar Falihin

Mahasiswa Politeknik Statistika STIS

Pengangguran: Menghambat Terwujudnya Indonesia Emas 2045?

Diperbarui: 4 Februari 2025   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jakarta - Pengangguran adalah salah satu isu yang terus menjadi perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Isu pengangguran berdampak pada banyak aspek tidak hanya aspek ekonomi, tetapi juga merembet ke persoalan sosial, seperti kesenjangan, kemiskinan, hingga stabilitas masyarakat. Dalam era global yang terus berubah, dibarengi dengan digitalisasi dan dampak pandemi, telah memicu transformasi yang besar di dunia kerja. Pekerjaan tradisional mulai tergantikan oleh teknologi otomatisasi, sementara peluang baru di sektor digital semakin berkembang pesat. Meskipun banyak peluang menarik terkait hal ini, banyak tenaga kerja yang belum siap menghadapi perubahan tersebut. Ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar kerja dan keterampilan pekerja menjadi salah satu faktor utama meningkatnya angka pengangguran.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2024 mencapai 4,91%, dengan lebih dari 7 juta penduduk usia kerja belum mendapatkan pekerjaan. Masalah ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga sosial, yang berdampak pada kualitas hidup individu, kestabilan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera, tantangan pengangguran menjadi salah satu rintangan yang harus diatasi secara komprehensif.

Keresahan di Balik Angka Pengangguran

Meski TPT di Indonesia cenderung menurun dibandingkan masa pandemi, tantangan yang dihadapi dunia kerja masih sangat kompleks. Salah satu penyebab utama pengangguran adalah ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja. Fenomena ini dikenal dengan istilah skills mismatch. Misalnya, lulusan perguruan tinggi sering kali kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang studinya, sementara sektor informal lebih menyerap tenaga kerja yang memiliki keterampilan praktis.

Selain masalah skills mismatch, tren digitalisasi ikut memperuncing kondisi pengangguran di Indonesia. McKinsey Global Institute melaporkan bahwa hingga 23 juta pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh otomatisasi pada tahun 2030. Sektor seperti manufaktur, retail, dan jasa administratif akan terdampak paling besar. Di sisi lain, bidang teknologi informasi, analitik data, dan kecerdasan buatan memiliki permintaan tenaga kerja yang tinggi, namun suplai sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tersebut masih minim. Hal ini ditunjukkan dengan data BPS pada tahun 2024 mencatat bahwa sektor teknologi hanya menyerap sekitar 5% tenaga kerja meskipun permintaan terus meningkat.

Masalah lainnya adalah akses terhadap lapangan kerja yang tidak merata secara geografis. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi pusat ekonomi yang menyerap tenaga kerja, tetapi wilayah rural sering kali tertinggal. Data BPS menunjukkan bahwa TPT pada Agustus 2024 di perkotaan sebesar 5,79%, lebih tinggi dibandingkan pedesaan yang hanya 3,67%. Hal ini menciptakan urbanisasi yang tidak terkendali dan memunculkan masalah baru, seperti kemacetan, kepadatan penduduk, dan meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur dasar. Contoh konkret adalah wilayah Kalimantan Timur, yang telah ditetapkan sebagai lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun pengembangan IKN diharapkan menciptakan lapangan kerja baru, Lin Nofrianto mengatakan bahwa saat ini banyak penduduk lokal yang belum memiliki keterampilan untuk bersaing di bidang konstruksi dan teknologi. Akibatnya, pekerja dari luar daerah mendominasi proyek tersebut.

Dampak pengangguran juga meluas ke aspek sosial. Individu yang menganggur cenderung mengalami tekanan psikologis, kehilangan rasa percaya diri, dan bahkan terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dari sisi masyarakat, pengangguran yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan sosial, meningkatnya angka kriminalitas, dan berkurangnya produktivitas nasional.

Solusi yang Bisa Diterapkan

Mengatasi pengangguran membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat diambil:

1. Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan pasar kerja. Kurikulum perlu diperbarui agar mencakup keterampilan abad ke-21, seperti literasi digital, pemecahan masalah kompleks, dan kemampuan beradaptasi. Selain itu, program pelatihan vokasi harus diperluas, khususnya di sektor-sektor yang tumbuh pesat seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan logistik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline