Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Memilih Pengganti Tanpa Rasa Benci

Diperbarui: 13 Februari 2024   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 sumber gambar: kompas.com

Buat saya, pergantian kekuasaan merupakan kodrat alam yang tidak bisa terelakkan. Entah kekuasaan dalam skala lokal, nasional bahkan internasional. 

Seekor singa yang kuat di padang savana akan berangsur tua dan melemah. Maka dia harus digantikan oleh seekor singa jantan yang lebih kuat. Begitulah makna yang saya tangkap dari kisah Simba versi Disney atau Kimba versi Jepang. 

Siapa pun yang menggantikan pucuk pimpinan maka dia dianggap paling sanggup memimpin. Dialah sosok yang dianggap layak oleh khalayak. 

Pihak yang menilai kelayakan bukan seorang cendikiawan yang mapan dalam keilmuan. Mereka yang tidak mengerti ilmu politik pun tentu saja berhak memilih, tanpa kecuali. Cara menilai kelayakan tentu tanpa tendensi, meskipun hal demikian langka terjadi.

Dalam hal ini saya berpikir jika mengganti seseorang tidak boleh digiring karena alasan kebencian. Menggiring opini agar warga membenci seorang calon pemimpin saya anggap sebagai tindakan yang tidak bijak. Kebencian bukanlah motif yang bagus untuk mendasari seseorang memilih salah satu calon dan mengabaikan yang lain. 

Budaya membenci calon pemimpin bukanlah budaya yang baik untuk ditiru. Mereka yang terbiasa banyak bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik bukan berarti harus menghembuskan kebencian kepada pemimpin yang dianggap buruk. Toh, pada akhirnya kepemimpinan merupakan tanggungjawab bersama. 

Saya merasa jika kehidupan bersama dalam suatu kelompok merupakan cara yang klasik untuk bertahan hidup. Kalau tidak ingin disebut primitif, kegiatan memilih pemimpin hanyalah cara alamiah bagi keberlangsungan peradaban. Bukan keberlangsungan kekuasaan. 

Penguasa dan kekuasaan hanyalah salah satu elemen wajib dari demi terlaksananya sebuah peradaban. Mungkin kita sering berpikir jika pemimpin adalah pelaksana bagi peradaban. Menurut pandangan saya, peradaban merupakan milik suatu bangsa bukan milik penguasa. 

Bahkan, dalam suatu kelompok warga yang mendasarkan peralihan kekuasaan semata pada keturunan pun pada dasarnya merawat bangsanya. Bukan merawat kekuasaannya. Disadari atau tidak, manusia di dunia tetap akan menilai keluhuran dan keunggulan sekelompok manusia semata pada ciri khas bangsa tersebut. 

Bukan keunggulan penguasanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline