"Wah, gambarnya bagus!" seorang ayah memuji hasil karya anak gadisnya yang baru berusia lima tahun.
"Adik memang hebat!" si ibu ikut memuji si adik sambil memeluk dan menciumnya.
Apakah anda familiar dengan adegan seperti di atas? Saya kira, tidak semua orang familiar dengan hal itu. Jika dahulu anda tidak pernah mengalami itu, bisa saja berlaku demikian kepada anak yang lahir dan besar di era sekarang.
Saya tidak memukul rata jika sikap orang tua kepada anak saat ini "menjiplak" sikap orang tua dahulu kepadanya. Setidak ada banyak hal yang berbeda. Namun, bisa juga benar-benar meniru bagaimana orang tuanya dahulu bersikap dan diterapkan kepada anaknya hari ini.
Tulisan ini bukan tentang parenting. Saya bukan psikolog yang kompeten untuk itu.
Ini tentang bagaimana sebuah sanjungan kepada anak bisa mempengaruhi mental seseorang ketika sudah dewasa. Setidaknya berdasarkan pengalaman saya dan adik-adik. Kami semua sudah dewasa dan adegan seperti di awal tulisan di atas adalah "langka".
***
Kami lahir dari budaya yang lebih sering "meledek" kemampuan anak dibandingkan memujinya. Saya melihat sendiri bagaimana adik perempuan saya menjadi wanita yang "kurang berprestasi" karena kurangnya sanjungan. Dia pintar. Namun, dia tidak tahu apa potensi dirinya sendiri. Apabila ditanya hobinya apa, bingung. Ditanya, kenapa tidak kuliah, jawabnya, bingung memilih jurusan.
Orang pintar yang tidak memiliki tujuan. Mungkin itulah untuk menggambarkan adik perempuan saya. Untungnya, dia cepat dilamar sehingga punya tujuan jangka menengah untuk membesarkan ketiga anaknya (yang juga pintar-pintar).
Adik laki-laki saya begitu suka olahraga. Namun, tahukah anda bagaimana rasanya jika menjadi anak yang tidak pernah disanjung ketika dia berprestasi. Mungkin perasaan kurang berarti dan menganggap prestasi bukan sebagai sesuatu yang berarti; apalagi patut dibanggakan.
Awalnya, sikap tidak suka menyanjung dari orang tua ini hal yang "remeh". Buat kami, sanjungan biasa didapatkan ketika nilai rapornya di atas angka delapan. Di luar itu, malah lebih sering diledek. Mending kalau sekedar dikomentari.