Sejak kecil saya suka mendengar siaran BBC Bahasa Indonesia. Dengannya, menjadi tahu kabar dunia. Sudah remaja, mendengarkan siaran VOA Bahasa Indonesia, merasa menjadi warga Amerika karena beritanya banyak menyebarkan opini penguasanya.
Sekarang, CRI pun ada siaran Bahasa Indonesia. Tentu saja, Cina menyajikan opini berbeda tentang dunia. Sesekali mendengar NHK yang memberitakan budaya Jepang. Setidaknya, bisa tahu dunia berkembang ke arah mana.
***
Radio, media komunikasi lama namun masih masih menjadi favorit saya karena cukup mendengarkan. Sedangkan mata, melihat lembaran buku atau layar ponsel tanpa mengeluarkan suara.
Terlebih, siaran berita dunia bisa memperluas cakrawala berpikir. Sekaligus, membingungkan jika tidak didasari oleh pijakan berpikir yang tepat. Misalnya, saya sering mendengar opini Amerika tentang suatu permasalahan di dunia sering bertentangan dengan Cina di sisi yang berseberangan.
Dunia seakan terbagi menjadi dua kutub. Kutub Barat yang selalu memojokkan pihak Cina. Kemudian, ditentang oleh Kutub Timur yang sering disuarakan lewat saluran berita yang dimiliki.
Terkadang, pertentangan diantara keduanya seperti anak kecil yang memperebutkan mainan. Tidak ada yang mau kalah atau mengalah. Lucu, ketika berita disampaikan dengan bumbu opini melebihi kadarnya.
Untungnya, saya bukan tipe pemirsa yang gampang percaya pada isi berita di media massa. Apalagi berita yang disampaikan oleh dua kekuatan besar di dunia. Tanpa harus dianalisis lebih mendalam, nuansa propaganda lebih terasa oleh telinga yang 'tajam'.
Ketika sudah terbiasa mendengar berita dari berbagai sumber, terasa sangat lucu ketika memperhatikan orang yang langsung percaya pada berita di grup Whats App. Jika ada yang mengirimkan video atau foto berisi berita (dengan sumber tak jelas) maka saya tak pernah mau membukanya. Tentu saja, tidak mau juga bilang, "terima kasih atas informasinya."
Malahan dalam hati sering gusar, "apaan sih ngirim beginian!" Saya hanya tertawa geli karena mereka menganggap itu "berita".