Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Apa yang Negara Berikan untuk Saya?

Diperbarui: 26 Juli 2021   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: tokyo2020shop.jp


Itu sih isi pikiran kita yang suka menuntut pada negara. Kita terlalu sering menuntut agar Negara memberikan fasilitas yang dibutuhkan. Tanpa terbersit dalam pikiran untuk memberikan "sesuatu" pada negara.


Tanpa malu-malu, berteriak di media sosial atau di tengah jalan raya agar Negara mengabulkan segala tuntutannya. Namun, kita tidak merasa malu ketika membuat keadaan menjadi lebih kacau atau setidaknya mengganggu ketentraman yang sudah tercipta. Ketika sebuah sistem kehidupan yang dianugerahkan Tuhan dengan sengaja kita rusak, tidak ada tuh perasaan berdosa.

Lucunya, kita paling keras berteriak menuntut Negara tetapi kontribusi nyaris nihil. Kita hanya jadi manusia yang "numpang hidup" di negeri ini. Membayar pajak paling kecil _itu pun suka telat_ tapi meminta kebutuhan hidup dipenuhi Negara.

Bahkan ada yang masih berpikir jika kita hidup seperti di negara komunis. Dimana makan-minum, rumah hingga pekerjaan disediakan Negara! Kalau menganggur, yang disalahkan Presiden. Terus curhat sana-sini karena menyesal sudah memilih orang yang sedang menjabat ketika Pemilu yang lalu.

Aduh, seharusnya kita malu pada para atlet. Mereka tidak banyak menuntut walaupun tahu hak mereka belum dipenuhi. Berprestasi dan mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.

Para atlet tahu jika resiko kegagalan juga tinggi bisa menghampiri. Prestasi belum tentu tinggi. Jaminan hari tua belum tentu ada. Bonus pun suka telat dibayarkan. Tetapi, jika berpikir itulah cara untuk memberikan "sesuatu" pada negara ya dilakukan.

Memang tidak semua orang bisa jadi atlet. Tapi, semua orang bisa melakukan sesuatu bagi negeri ini.

Saya menonton wawancara pebulutangkis legendaris Susi Susanti di Metro TV, dimana dia mengatakan jika menjadi atlet adalah tugas negara. Ketika terjadi kerusuahan Mei 1998, Susi tidak lantas pergi dan marah-marah karena waktu itu etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan tidak pantas dari saudara sebangsanya.

Seharusnya, hati kita tersentil oleh para atlet yang tidak banyak bicara. Mereka terus berkarya nyata.

Olahraga adalah salah satu cara yang bisa mengangkat nama bangsa. Amerika dan Cina adalah contoh negara besar yang selalu mencatatkan angka di papan rekor. Kalau di luar olahraga, tentu saja bisa.


Saya tahu jika bicara bisa memperbaiki keadaan. Tetapi, jika tidak proporsional maka hanya akan mengganggu nilai-nilai yang sudah lama kita pertahankan. Nilai-nilai berkorban, gotong-royong dan tanpa pamrih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline