Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Belajar Pola Migrasi dari Seekor Ayam

Diperbarui: 29 Juni 2021   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Ansor


Ada hal menarik ketika saya memperhatikan pola migrasi ayam-ayam yang dipelihara di kampung-kampung. Mereka tidak melakukan migrasi ke berbagai tempat padahal kemungkinan itu sangat terbuka.

**

Sudah lama sekali keluarga kami memelihara ayam kampung. Tidak banyak sih, hanya beberapa ekor demi kebutuhan makan sehari-hari. Ayam-ayam yang sekarang ada di kandang adalah keturunan _entah keberapa_ dari bibit ayam pendahulunya.

Terbersit dalam pikiran sebuah pertanyaan, kenapa ayam-ayam itu tidak mau pergi dari kandang dan bermigrasi ke banyak tempat? Ayam-ayam betina bertelur di tempat yang sama ketika dahulu dia menetas. Tidak persis di tempat yang sama, tetapi tidak jauh dari sana.

Ayam-ayam diciptakan untuk menjadi teman setia bagi manusia. Mereka bertelur, mengerami, berkokok hingga siap disembelih untuk dimakan dagingnya. Dan, mereka tidak mau jauh-jauh dari manusia.

Ayam-ayam hidup dan melakukan penyebaran dengan mengikuti ritme alam. Jika bukan karena tangan manusia, ayam-ayam di dunia akan hidup di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat nenek moyangnya dahulu. Jika ayam milik keluarga saya ditelusuri hingga nenek moyangnya maka mungkin sekali dia adalah sepasang ayam hutan yang hidup di zaman Tarumanegara.

***

Baiklah, kita bandingkan dengan para manusia. Pola migrasinya tidak mengikuti ritme alam. Dan, alhasil merusak alam.

Ada daerah dengan kepadatan penduduk melebihi kapasitas. Dan, ada daerah yang masih berupa hutan belantara padahal sebelumnya dihuni manusia.

Oh, itu kan karena kebutuhan? Mungkin itulah alasan yang akan dikemukakan ketika migrasi manusia melawan ritme alam.

Tapi, coba perhatikan. Masalah sederhana seperti ketersediaan makanan pun tidak bisa terpecahkan di daerah dengan penduduk yang teramat padat. Tengok Jakarta, adakah sepetak kebun untuk sekedar menanam singkong?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline