Pagi itu saya sedang mencari rumput di pesawahan. Dari kejauhan, ada seseorang yang sedang membangun gubuk ukuran kecil dari jerami. Gubuk itu sangat sederhana, hanya cukup untuk 1 orang.
Ketika selesai dibangun, orang itu memasang perangkap di luar gubuk. Dengan seekor tekukur terikat sebagai pemikat, dia menunggu tekukur datang.
Ketika sore tiba, orang itu masih ada di dalam gubuk. Masih menunggu seekor tekukur datang. Matahari sudah tidak lagi tinggi, cahayanya mulai meredup. Yang ditunggu, akhirnya datang juga.
Dan ... hap! Seekor tekukur terperangkap.
Begitulah sepenggal cerita tentang perburuan hewan eksotik di desa kami. Tidak ada yang melarang, karena masih diperbolehkan undang-undang. Tapi, jika tidak dilarang maka kelestarian mereka bisa mengkhawatirkan.
Siapa pun sulit untuk melarang warga desa berburu burung tekukur. Burung-burung itu begitu menggoda untuk ditangkap. Dan, desakan kebutuhan akan uang menjadi alasan lainnya ketika burung-burung itu sering diburu.
Kalau pagi menjelang, burung-burung itu bernyanyi di pepohonan. Kadang mereka hinggap di pohon kelapa. Suatu kali, mereka bernyanyi di pohon kedondong.
Tekukurrrr ... kuk .
Suara-suara itu bukan hanya saya yang bisa menikmati. Warga lain di desa tempat kami tinggal, banyak yang menggemari suara itu. Karena kegemarannya, diantara kami ada yang rela memburunya.
Ada diantara warga yang rela memasang perangkap dan menunggu seharian demi mendapatkan seekor tekukur. Kadang-kadang warga beramai-ramai berburu hingga di pinggir hutan. Pergi di pagi hari, lalu pulang menjelang malam.
Jika berhasil mendapatkan buruan, biasanya dijual. Harganya lumayan untuk sekedar membeli kebutuhan sehari-hari.