Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Kak Prilly, Luasnya Halaman Rumah Kami Tidak Semewah Milik Anda

Diperbarui: 18 Juli 2020   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesawahan dekat rumah yang sedang menghijau. (Dokpri.)

Bagi saya, orang desa, halaman rumah tidak menjadi tanda kemewahan. Masih banyak rumah dengan halaman luas, tetapi malah dijadikan tempat mengembala ternak. Kalau musim penghujan datang, bagus untuk ditanami ubi jalar atau sayuran penambah gizi keluarga.

Jelas berbeda dengan halaman rumah milik Prilly Latuconsina, luas halaman rumahnya terlihat indah dengan rumput menghijau. Ditambah, pemandangan lapangan golf yang menyejukan mata.

Rumah kami memang tidak bergaya Victorian, ya sekokoh mungkin dibangun jika punya dana cukup. Di desa kami, rumah besar dengan 3 lantai pun tidak suka menata halaman terlalu luas. Mendingan ditanami padi atau dibuat kolam ikan untuk mengisi waktu luang.

Memang benar dikatakan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (2016), jika halaman rumah dengan rumput menghijau menjadi tanda kemewahan bagi sebagian orang. 

Orang rela mengeluarkan banyak biaya agar halaman rumahnya tetap hijau. Tetapi, sehijau-hijaunya halaman rumah, binatang ternak tidak diperkenankan bermain di sana.

Bagi saya, sayang saja halaman seluas itu "kurang termanfaatkan". Padahal, masih banyak orang yang tidak punya halaman rumah bahkan harus berhimpitan dengan tetangga di gang-gang sempit.

Kalau saya punya halaman seluas lapangan golf, domba-domba di kandang akan diajak untuk menikmati hijaunya rerumputan di sana. Sayang saja, karena peternak di desa saya sering kesulitan mendapatkan rumput kalau musim kemarau tiba.

Istana Balmoral dengan halamannya yang luas di Skotlandia yang pernah menjadi kediaman Ratu Victoria. (Wikipedia.org)

Awalnya, saya pikir halaman rumah yang luas itu semata karena tidak termanfaatkan. Ternyata, orang rela membayar mahal demi bisa melihat hamparan rerumputan ketika pertama kali membuka jendela di pagi hari.

Ya, betapa mahal sebuah kenyamanan. Kalau kata para psikolog, warna hijau memberikan efek tenang bagi pikiran. Dan memang benar adanya ketika saya menyaksikan hamparan sawah yang menghijau.

Bagi warga kota, hamparan hijau alam sekitar itu menjadi barang langka. Tidak heran juga ketika warga Jakarta rela bermacet ria di jalan raya menuju Kawasan Puncak diakhir pekan. Tidak mengherankan jika villa-villa laku keras ketika menawarkan konsep "kembali ke alam".

Manusia memang ada-ada saja, ketika berlomba-lomba membangun gedung tinggi ternyata masih ada kerinduan untuk menyaksikan lestari alam sekitarnya. Jika kami orang desa,  tidak menganggap mewah halaman yang luas karena sudah terbiasa dengan hamparan alam sekitar maka orang kota sangat bangga memamerkan 'kelebihan' lahan yang dimilikinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline