Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

"The Invisible Hand" dalam Tingginya Harga Beras

Diperbarui: 13 Juni 2020   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manuk Gorejra (Burung Gereja) ikut menikmati padi di penjemuran (Dokpri.)

Saya sulit memahami kenapa harga beras masih tinggi padahal panen raya sedang berlangsung diberbagai daerah. Apakah ilmu ekonomi yang dipelajari di sekolah tidak berlaku dalam situasi seperti ini. Katanya, harga akan turun apabila 'penawaran' berlimpah. Kenyataannya?

***

Setelah membaca beberapa artikel ekonomi, ternyata ada istilah yang terdengar 'metafisik' dalam sebuah sistem yang berwujud fisik. 'The invisble hand' (tangan tak terlihat, begitulah mereka disebut.

Bagi kami para petani, ini membingungkan. Omong-kosong teori ekonomi begitu terasa membebani. Cara berpikir kami yang 'sederhana' sulit menerima keadaan ini.

Harga gabah di tingkat petani tidak 'menggembirakan'. Malahan, kerugian akibat menurunnya produksi tidak bisa tertangani. Berharap pada Pemerintah? Entahlah.

Siapa sih sebetulnya yang tega bermain-main dalam harga beras ini.  Ketika banyak orang masuk ke dalam jurang kemiskinan. Para 'tangan jahil' ini malah menari-nari di atas penderitaan orang lain. Tarian kematian...

Intervensi negara melalui Bulog seakan tidak berdaya. Bulog hanya sanggup 'mengumpulkan' beras tapi belum sanggup mempengaruhi harga.

Siapa sih sebetulnya yang menentukan harga? Bukankah harga 'keekonomian' bisa dicapai apabila ada 'titik ekuilibrium' ? Setidaknya begitulah yang ditulis dibuku teks pelajaran ekonomi di sekolahan.

Jangan-jangan selama ini kami 'dibohongi'. Teori pembentukan harga hanyalah untuk mengaburkan pemikiran semata.

Saya menaruh curiga jika harga bukan ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Harga hanya ditentukan oleh segelintir orang. Siapakah mereka? Tidak terlihat karena mereka memang "invisible".

Bagi saya, waga kelas rendahan yang minim informasi seakan terperangkap dalam 'turbulensi' ekonomi. Dunia yang penuh teka-teki semakin diperkeruh dengan ulah para manusia-manusia yang suka melihat orang disekitarnya 'meminta-minta'. Meminta-minta sekedar untuk memenuhi isi perut.

Faktor-faktor teknis yang mempengaruhi harga nampaknya hanya informasi yang menyesatkan belaka. Memang, kami kekurangan data. Kami jauh dari sumber informasi. Tapi, nurani kami sulit dihohongi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline