Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Karantina di Perkotaan Tidak Semudah Abad Pertengahan

Diperbarui: 2 April 2020   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar kota di Abad Pertengahan yang sedang dikarantina karena ada wabah. (Ilustrasi: Ansor)

Sudahlah, tidak usah lagi bicara karantina wilayah untuk menanggulangi covid-19. Anda jangan membayangkan jika karantina wilayah itu semudah Abad Pertengahan dimana kota masih dikelilingi tembok sebagai benteng pertahanan.

Karantina suatu wilayah bukan hanya menghentikan orang untuk tidak lalu-lalang tetapi juga menghentikan denyut perekonomian kota. Semua kegiatan  warga dihentikan demi tercapainya tujuan karantina.

Apakah sanggup negara menghentikan "kehidupan" sebuah kota besar seperti Jakarta? Apakah negara sanggup memberi makan jutaan orang dalam dua-tiga pekan  ke depan?

Saya ingin menanggapi orang-orang yang masih "keukeuh" dengan penerapan karantina wilayah di perkotaan. Bahkan, ada yang mengemukakan alasan sebuah pengkarantinaan bukan hanya sekedar menerapkan Undang-undang tetapi juga alasan keagamaan.

Apapun alasan yang disampaikan, di lapangan tidak akan semudah kita mengeluarkan perkataan. Apa yang dipikirkan dalam lamunan, belum tentu sesuai dengan pelaksanaan.

Saat ini, kita harus punya pemikiran yang 'realistis-pragmatis', dimana cara yang ditempuh harus sesuai dengan kesanggupan kita. Jujur saja, alasan "isi perut" harus menjadi pertimbangan ketika menerapkan sebuah kebijakan, termasuk dalam suasana kedaruratan.

Isi perut di negara demokratis tidak dijamin negara selayaknya di negara komunis. Semuanya mengikuti alur ekonomi yang sudah ada. Apabila alur itu tersendat, maka "bencana" susulan bisa terjadi yakni kelaparan.

Mengatur alur pangan saja bukan perkara gampang, apalagi mengatur alur distribusi kebutuhan lain. Jangan sampai kondisi sosial menjadi semakin berantakan gara-gara hal yang kurang esensial.

***
Langkah yang diambil Pemerintah mungkin bukan yang terbaik. Tetapi, lebih baik melangkah daripada diam saja.

Kita, sebagai manusia tidak mempunyai keinginan yang sama. Legowo, atau menerima apa yang sudah diputuskan lebih baik daripada uring-uringan apalagi membawa perkara penanganan bencana ke pengadilan.

Referensi:
kompas.com
Omar Amin Husein. Kultur Islam. Bulan Bintang. Jakarta: 1964.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline