Kebebasan mengurus diri sendiri, itukah yang diinginkan sebagian warga Hongkong sehingga melakukan demonstrasi selama berminggu-minggu? Apakah kesejahteraan hidup tidak cukup untuk bisa membuat orang 'terdiam' dan tidak beraksi melawan Pemerintah.
***
Apabila demontrasi tak berkesudahan ala kaum Buruh di Indonesia menuntut kesejahteraan, maka orang Hongkong bukan menuntut itu. Harapan akan kemapanan bukan hanya sebagai isu utama sebuah tuntutan rakyat pada Pemerintah. Kebebasan untuk mengurus diri sendiri menjadi isu yang begitu penting bagi orang dengan kesejahteraan lebih dari cukup.
Mahasiswa di Cianjur berani membakar polisi dalam demontrasi demi tuntutan kesejahteraan. Dapat dimengerti, urusan perut bisa membuat orang kalap dan kurang memperhatikan resiko. (Kompas.com)
Demontrasi, tidak hanya sebagai bentuk kekesalan atas ketidaksanggupan Pemerintah memberikan kehidupan yang layak pada rakyatnya. Demontrasi bisa menjadi benar-benar bentuk penyampaian gagasan.
Gagasan tidak melulu tentang masalah perut. Gagasan bisa berupa bentuk yang 'belum terwujud'.
Pernahkah kita mendengar orang yang berdemontrasi menuntut masalah hak azasi. Padahal, filosofi yang mendasari kedua pihak sangatlah berbeda. Contoh terbaru adalah demontrasi mahasiswa asal Papua di Malang yang berakhir ricuh.
(Tribunnews.com)
Suatu permintaan yang 'tidak azasi' apabila sekelompok orang meminta untuk 'menentukan nasibnya sendiri'. Apakah demontrasi yang meminta memerdekakan diri seperti itu harus 'dilayani' aspirasinya.
Di Papua, kita saksikan demontrasi bisa begitu 'panas' karena hasutan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Rasa 'tersinggung' sangat mungkin memantik kemarahan siapa pun.(detik.com)
Demontrasi Sebagai Pemenuhan Kebutuhan
Saya tidak akan membahas masalah politik Hongkong karena bukan kapasitas saya untuk itu. Saya mencoba mengamati, kenapa demontrasi itu begitu kencang ketika kehidupan sudah jauh lebih dari kata 'cukup'.