Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Menjadi Petani, Antara Idealis dan Realistis

Diperbarui: 9 Mei 2019   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu saya sedang menjemur padi di halaman rumah. Kami punya kandang ayam, kolam ikan dan kandang domba serta gudang gabah sebagai tambahan saat hasil tani tidak menguntungkan. (Dokumen Pribadi)


Saya tidak mau dibuat pusing dengan berbagai masalah pertanian di Indonesia. Apalagi kalau urusan regenerasi petani.

Sebagai petani dan anak petani, saya hanya akan melihat masalah regenerasi petani dari cara pandang 'seorang petani'. Kalau Bapak/Ibu para pengamat pertanian suka menyertakan data dalam melihat masalah pertanian maka saya hanya berbekal pengalaman dan apa yang terjadi di depan mata.

Begini deh, masalah regenerasi petani tidak saya dilihat sebagai masalah yang mengkhawatirkan. Jadi, biasa saja. Kalau anak muda banyak yang tidak mau menjadi petani, ya, tidak usah risau.

Lah, bagaimana dengan pertanian masa depan?

Robot. Ya, itu jawaban saya yang paling realistis. Kita tidak usah dibingungkan dengan realita berkurangnya jumlah petani. Justru, dengan begitu pertanian akan semakin efisien.

Bukankah pertanian di negeri ini terkenal tidak efisien. Saya sendiri _tepatnya Bapak saya_ mengalami sendiri bagaimana bertani itu tidak efisien. Jangankan untung, rugi melulu. Tapi, bertani tetap dilakukan karena kebutuhan.

Bagi kami, anak muda di perdesaan, menjadi petani bukanlah pilihan. Alasannya simpel saja. Kami 'ingin kaya'.  Menjadi petani tidak menjanjikan kekayaan. Itu realita. Apalagi kalau tinggal di Jawa, mana bisa punya lahan hektaran seperti di Amerika. Masih untung punya orang tua dengan sawah dan ladang lumayan luas, tinggal menunggu warisan.

Pada dasarnya, menjadi petani sulit mendapatkan properti lebih dari yang ada saat ini. Kalau pun kami _para anak petani_ punya idealisme untuk menjadi petani, itu semata-mata 'mempertahankan tradisi orang tua'.

Lagi pula, idealisme bisa rontok kalau sudah dihadapkan pada kebutuhan hidup yang mendesak. Misalnya, anak muda yang memiliki lahan pertanian milik orang tua bisa dengan mudah beralih profesi apabila ada kebutuhan yang lebih mendesak.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana pertanian tidak  bisa mencegah anak muda untuk berurbanisasi. Mencari rezeki hingga ke luar negeri menjadi obsesi tersendiri bagi anak petani.

Insya Alloh, lebaran nanti kami panen. (Dokumen Pribadi)

Dan, kita jangan berpikir bahwa petani pun ingin anaknya meneruskan profesinya. Alasan utamanya jelas, gengsi. Petani sendiri tidak bangga akan profesinya. Makanya, jangan aneh bila seorang petani akan sangat bangga mengirim anaknya sekolah ke kota demi meningkatkan kasta sosial.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline